Jakarta (ANTARA) - Hasil penelitian Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan nyamuk Aedes Aegypti mengandung Wolbachia bukan hasil modifikasi genetik (non-genetic modifying organism/non-GMO).

Pernyataan itu disampaikan Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Siti Nadia Tarmizi dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.

"Tidak. Sebab sudah ada penelitian dan kajian risiko," kata dia saat dikonfirmasi atas beredar kabar bahwa Wolbachia berisiko memicu penyakit baru yang berbahaya bagi kesehatan manusia karena faktor modifikasi genetik.

Dalam berkas laporan Pusat Kedokteran Tropis UGM yang dibagikan Nadia kepada wartawan disebutkan bakteri Wolbachia yang dimasukkan ke dalam tubuh Aedes Aegypti identik dengan Wolbachia yang ada di inang aslinya, yaitu Drosophila Melanogaster atau jenis serangga bersayap yang masuk ke dalam ordo Diptera, umumnya dikenal sebagai lalat buah.

Selain itu, Office of the Gene Technology Regulator (OTGR) Australia telah menyatakan bahwa nyamuk Aedes Aegypti yang memiliki Wolbachia tidak dipertimbangkan sebagai GMO.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (US-CDC) di laman situsnya juga menyatakan bahwa nyamuk dengan Wolbachia bukan merupakan modifikasi genetik.

Selain itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan Wolbachia sebagai produk pengendalian vektor baru yang masuk dalam kelas pengendalian secara biologi.

Pusat Kedokteran Tropis UGM juga memastikan tidak ada perbedaan jumlah nyamuk Aedes Aegypti sebelum dan sesudah jentik nyamuk mengandung Wolbachia dilepaskan.

Baca juga: Kemenkes: Pelepasan jentik nyamuk berwolbachia di Bali ditunda

Dalam laporannya, disebutkan aspek keamanan Wolbachia di Indonesia diuji oleh Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) beserta Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes RI pada 2016 dengan membentuk 20 anggota tim independen dari berbagai kepakaran.

"Kesimpulan penilaian risiko pelepasan Wolbachia di Yogyakarta adalah pelepasan nyamuk Aedes Aegypti ber-Wolbachia masuk pada risiko sangat rendah, di mana dalam 30 tahun ke depan peluang peningkatan bahaya dapat diabaikan," demikian petikan dalam laporan tersebut.

Wolbachia juga tidak menginfeksi manusia, tidak terjadi transmisi horizontal terhadap spesies lain dan tidak mencemari lingkungan biotik dan abiotic.

Peningkatan jumlah nyamuk Aedes Aegypti di area pelepasan hanya terjadi saat periode pelepasan.

Baca juga: Kemenkes: Penggunaan Wolbachia tak berpotensi timbulkan penyakit baru

Nadia mengatakan penelitian teknologi Wolbachia dilakukan di Yogyakarta selama 12 tahun pada kurun 2011-2023.

Tahapan penelitian terdiri atas fase kelayakan dan keamanan (2011-2012), fase pelepasan skala terbatas (2013-2015), fase pelepasan skala luas (2016-2020), dan fase implementasi (2021-2022).

"Di dunia, studi pertama Aplikasi Wolbachia untuk Eliminasi Dengue (AWED) dilakukan di Yogyakarta dengan desain Cluster Randomized Controlled Trial (CRCT), sebuah desain dengan standar tertinggi," katanya.

Hasil studi AWED menunjukkan bahwa nyamuk Aedes Aegypti ber-Wolbachia mampu menurunkan kasus dengue sebesar 77,1 persen dan menurunkan rawat inap karena dengue sebesar 86 persen.

Dari hasil studi tersebut dan hasil di beberapa negara lain yang menerapkan teknologi WMP, kata dia, teknologi Wolbachia untuk pengendalian dengue telah direkomendasikan oleh WHO Vector Control Advisory Group.

Baca juga: Kemenkes siapkan tempat untuk kembang biak nyamuk wolbachia
Baca juga: Kemenkes: Masyarakat tak perlu khawatir soal nyamuk ber-Wolbachia
Baca juga: Kemenkes tebar jentik nyamuk Wolbachia di lima kota sepanjang 2023

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2023