Wini (ANTARA) - Mendengar kata "tapal batas" membuat seseorang penasaran ingin menjelajahinya. Apalagi, kali ini akan mengunjungi saudara satu daratan yang terbelah menjadi dua.

Ya, Timor-Timur (Timor Leste) namanya, menyatakan kemerdekaannya atas Indonesia pada tahun 1999 melalui referendum. Hanya saja, secara resmi Timor Leste merdeka tahun pada 2002.

Ada beberapa tapal batas atau Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Indonesia-Timor Leste, salah satunya PLBN Wini, berlokasi di Desa Humusu C, Kecamatan Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT).

Tapal batas ini terletak sekitar 238 kilometer dari Kota Kupang atau sekitar 5 hingga 6 jam jika ditempuh jalur darat. Bisa kurang, bisa pula lebih. Semua bergantung pada kondisi kendaraan dan penumpangnya.

Armos, sopir yang membawa pewarta Kantor Berita ANTARA beserta tim Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dari Kota Kupang menuju PLBN Wini, Kamis.

Ia mengemudikan mobil berwarna hitam yang melaju sekitar 80 hingga 100 kilometer per jam menembus Jalan Timor Raya, akses utama dari Kupang menuju PLBN yang diresmikan Presiden Jokowi pada Selasa, 9 Januari 2018.

"Tidak terkenal, hanya dikenal daerah perbatasan," kata Armos, berkelakar.

Pernyataan Armos cukup membuat penasaran di tengah lelah, usai menempuh lima jam membelah langit dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta ke Bandara Internasional El Tari Kupang.

Kendati demikian, setelah ada PLBN Wini, wisatawan mulai banyak berdatangan. Cerita Armos tentang Wini sepanjang kami membelah Pulau Timor rupanya lebih membuat hati penasaran.

Awal perjalanan kami disuguhi pemandangan Pantai Kelapa Lima. Langitnya sangat biru, tanpa hiruk pikuk polusi udara.

Di tempat ini, terdapat sebuah bangunan dua lantai yang mirip dengan rumah adat Lopo yang dikhususkan bagi para pemilik lapak usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Di lantai duanya digunakan tamu untuk menyantap makanan.

Selain itu, di trotoar dekat Pantai Kelapa Lima, ada tempat duduk santai berbentuk Sasandu atau Sasando, alat musik tradisional terkenal asal Pulau Rote.

Tidak sedikit orang duduk di tempat itu sambil menikmati deburan ombak dan semilir angin pagi yang berembus, sedikit mengurangi terpaan sinar Matahari pagi yang terasa sangat panas.

Sementara itu, di pesisir Pantai Kelapa Lima, terdapat sejumlah kapal nelayan yang sedang bersandar. Ari (21), salah satu sopir lain yang mengantar ke PLBN Wini menuturkan bahwa para pemilik kapal itu tidak mendengar imbauan pemangku wilayah setempat.

Sebab, para nelayan sudah disediakan tempat di Pantai Oeba untuk melaut. Bila ada pemeriksaan, para nelayan justru terbirit-birit kabur dari kejaran petugas.

Langit cerah tiba-tiba saja berubah saat memasuki wilayah Naibonat, Ibu Kota Kabupaten Kupang. Hujan deras turun dan mewarnai perjalanan saat membelah Hutan Camplong di Kecamatan Fatuleu.

Kondisi hutan tersebut tampak menguning. Daun-daun terlihat kering akibat kemarau panjang beberapa bulan lalu.

Setelah tiga jam perjalanan, kami mengisi perut di sebuah rumah makan padang di Kota Soe, salah satu wilayah dataran tinggi di Provinsi NTT.

Udaranya terasa sejuk saat pertama kali membuka mobil. Benar saja, aplikasi perkiraan cuaca menunjukkan suhu kota ini mencapai 21 derajat Celsius.

Mengarahkan pandangan mata ke arah utara Kota Soe, terdapat Gunung Mutis yang sedang tertutup dengan kabut. Setelah mengisi perut, kami melanjutkan perjalanan.

Di perjalanan itu, kami melihat segerombol anak-anak yang baru saja pulang sekolah. Mereka berjalan dengan bertelanjang kaki sambil bercanda satu sama lain di pinggir jalan.

Raut wajahnya terlihat semringah di tengah guyuran hujan. Senyum manis khas orang Timur dan gigi putihnya tetap terlihat, meski dari kejauhan.

Sepanjang perjalanan, kami kaget karena ada begitu banyak jaringan minimarket terkenal di Indonesia yang selalu berdampingan berdirinya.

Tidak terasa kami sudah memasuki Jalan Nasional Trans Timor yang membawa ingatan pada satu hal ketika dibandingkan dengan Jakarta, yakni kabel yang tampak semrawut.

Sepanjang perjalanan, kami tidak melihat kabel optik semrawut yang "mengotori" langit-langit NTT. Tidak dapat dipungkiri ada beberapa tiang listrik miring yang dibiarkan begitu saja.

Lamunan tiba-tiba pecah karena perut terasa mual. Maklum, ada yang mabuk darat mengingat akses jalan menuju perbatasan berkelok-kelok.

Apalagi, kecepatan laju mobil yang dikemudikan Armos terbilang luar biasa cepat. Gaya mengemudinya mengingatkan pada film "Fast and Furious".

Dalam pikiran terbersit juga, Armos sudah cocok menjadi sopir lintas Sumatera. Mobil pun kerap berjalan pelan bila ada perbaikan jalan.

Armos pun bercerita lagi, PLBN Wini terletak di pesisir. Oleh sebab itu, sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai nelayan. Ada juga yang bekerja di tambang garam lokal.

Ia juga mengingatkan, masyarakat Wini masih memegang teguh adat istiadat leluhur. Armos tidak terlalu menjelaskan apa bentuk adat istiadat yang dijalankan di sana.

Perjalanan kami pun hampir tiba, sebelum menuju gerbang PLBN Wini, kami melihat ada beberapa kambing yang bebas berkeliaran di jalanan tanpa diikat. Mungkin, kasus pencurian di kota ini minim, sehingga sang pemilik tak begitu khawatir melepas binatang piaraannya.

Akhirnya, kami tiba sekitar pukul 16.44 WIB di PLBN Wini. Saat memasuki gerbang PLBN Wini, kami terpukau dengan kemegahan wajah perbatasan Indonesia yang memisahkan antara NTT dengan Timor Leste.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023