Jakarta (ANTARA) - Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Sagara Institute Piter Abdullah menilai kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS di level 5,25-5,50 persen dan Bank Indonesia (BI) di level 6 persen tidak terlalu mempengaruhi meningkatnya suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
"Walaupun ada kenaikan (suku bunga acuan) saya kira tidak akan terlalu tajam, terutama untuk mereka yang sudah mendapatkan KPR, tidak perlu khawatir. Biasanya yang mengalami kenaikan adalah mereka yang mengajukan kredit perumahan baru, tapi kenaikannya tidak akan drastis, tidak akan terlalu memberatkan," kata Piter dalam seminar virtual 'Perbandingan Efektivitas KUR dan KPR' di Jakarta, Kamis.
Piter menjelaskan bahwa saat ini suku bunga acuan memang masih tinggi, serta diproyeksikan masih akan terus meningkat dalam jangka waktu yang lama atau higher for longer.
Namun, peningkatan suku bunga acuan tidak akan terlalu berpengaruh terhadap kredit perumahan. Hal itu menurut Piter, karena dalam sistem perbankan saat ini, suku bunga kredit relatif konstan.
"Menurut saya, kita tidak perlu khawatir, memang tren suku bunga sedang tinggi, higher for longer. dan lama tidak turun-turun. Suku bunga kredit kita itu tidak banyak berubah selam lima tahun terakhir," jelasnya.
Peningkatan suku bunga BI di level 6 persen, menurut Piter, merupakan kenaikan suku bunga yang tidak terlalu tinggi. Untuk itu ia mengimbau masyarakat untuk tak terlalu khawatir.
Dengan kondisi tersebut, perbankan masih bisa meraup keuntungan meskipun telah mengurangi margin bunga bersih atau net interest margin (NIM).
"Ini yang biasanya dilakukan pertama-tama adalah mengurangi net interest margin (NIM)-nya, NIM-nya akan menyempit sedikit, tapi tidak akan mengurangi keuntungan perbankan. Apalagi untuk KPR, kan ada subsidi dari pemerintah. Jadi saya kira tidak perlu kawatir," pungkasnya.
Adapun Gubernur BI Perry Warjiyo telah memproyeksikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve bakal melandai pada semester II-2024.
Hingga paruh pertama tahun depan, BI memprediksi The Fed masih akan melakukan pengetatan kebijakan moneter, di mana pada akhir tahun suku bunga acuan diperkirakan naik sekali lagi menjadi 5,75 persen dari 5,5 persen.
Namun, pada paruh berikutnya, Federal Reserve diperkirakan akan mulai melonggarkan suku bunga acuannya.
Perry mengatakan gejolak perekonomian AS disebabkan besarnya utang pemerintah akibat dampak pandemi COVID-19, ditambah kini negara Paman Sam itu juga menggelontorkan dana untuk membiayai perang.
Akibatnya, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah atau US treasury yield meningkat pesat pada 2023. Dampak dari tingginya suku bunga serta imbal hasil obligasi, kata Perry, mendorong terjadinya pelarian modal dalam jumlah besar sehingga nilai tukar dolar AS terkerek meninggi.
Baca juga: Direktur BNI: 'Higher for longer' baru akan selesai di kuartal II-2024
Baca juga: BI memproyeksikan suku bunga The Fed melandai pada 2024
Baca juga: Ekonom: Kenaikan suku bunga BI pulihkan imbal hasil obligasi
Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2023