"BLSM tak lebih dari sekedar 'obat luar' yaitu panas dan efektif sesaat, setelah itu efeknya hilang," katanya dalam keterangan persnya, di Jakarta, Jumat.
Menurut Rommy, masyarakat pasti senang dikasih bantuan, apalagi berupa uang. Permasalahannya, katanya, jumlah dan masa pemberian uang BLSM itu tidak cukup memadai kalau dikaitkan dengan ide bahwa kebijakan kompensasi kenaikan harga BBM ini adalah menyesuaikan psikologi masyarakat terhadap gejolak kenaikan harga barang-barang akibat kenaikan harga BBM bersubsidi.
Rommy mengatakan, selain ditengarai belum sesuai soal ketepatan sasaran penerimanya sebagaimana terjadi di beberapa daerah termasuk di DKI Jakarta, ide pemberian BLSM masih jauh dari ideal.
"Dalam konteks ini, gagasan tentang kebijakan anggaran yang memihak orang miskin (pro-poor budget) sebetulnya memang penting dan harus dilakukan. Tapi, kebijakan itu harus dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari sekian banyak kebijakan yang diperlukan untuk menanggulangi kemiskinan," ujarnya.
Rommy menegaskan, kendati pertimbangannya khusus karena kenaikan harga BBM, sekarang BLSM seperti sebuah kebijakan terpisah, tidak melekat pada satu gagasan atau kebijakan besar tertentu dalam rangka pengentasan kemiskinan yang simultan.
Sedangkan, tujuan akhir kebijakan dan strategi penanggulangan kemiskinan adalah membebaskan masyarakat dari kemiskinan dan mengangkat harkat dan martabat mereka agar menjadi warganegara dengan seluruh hak dan kewajibannya.
"Nah, di banyak kejadian iming-iming, BLSM cenderung ditengarai merendahkan harkat itu. Hanya karena ingin dapat dana itu, banyak masyarakat yang sebetulnya 'mampu' tiba-tiba ingin disebut 'orang miskin'," katanya.
Untuk itu, kata Rommy, salah satu strategi terpenting yang harus ditempuh adalah memberi kesempatan seluas-luasnya bagi orang miskin untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam proses pembangunan ekonomi.(*)
Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013