San Francisco (ANTARA) - Di lanskap kota San Francisco yang ikonis, sebuah pertemuan berskala global akan segera berlangsung karena Presiden China Xi Jinping dan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden akan mengadakan pertemuan tatap muka untuk pertama kalinya sejak pertemuan terakhir mereka di Bali, Indonesia, setahun yang lalu.
Komunitas internasional menantikan pertemuan tersebut sambil menahan napas, menyadari pentingnya pertemuan ini dengan latar belakang lanskap global yang kompleks dan tantangan pemulihan ekonomi pascapandemi.
"Hubungan China-AS boleh dikatakan hubungan bilateral paling penting di planet ini," ujar Jon Taylor, profesor Ilmu Politik di Universitas Texas di San Antonio, kepada Xinhua.
"Terlepas dari perbedaan dalam sistem politik dan pendekatan kebijakan kedua negara, hubungan China-AS yang sehat dan saling menghormati sangat penting untuk menjaga stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan nasional," ujar Taylor.
Meningkatkan kesejahteraan di Asia-Pasifik
Dengan mengamati peta tersebut, dapat dipahami esensi dari pernyataan Xi bahwa "Samudra Pasifik membentang cukup luas untuk merangkul China dan AS, serta negara-negara lain."
Kawasan Asia-Pasifik juga merupakan kawasan yang paling makmur secara ekonomi di tingkat global, tetap berada di jalur yang tepat untuk mengontribusikan sekitar dua pertiga dari pertumbuhan global pada 2023, ungkap Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dalam laporannya mengenai prospek ekonomi Asia dan Pasifik pada Oktober lalu.
China dan AS adalah dua raksasa di kawasan Asia Pasifik. AS tersohor dengan keunggulannya di bidang teknologi dan keuangan, sedangkan China memiliki skala ekonomi dan ruang pasar yang substansial.
Sebuah laporan terbaru, yang berjudul "Asian Economic Integration Report 2023" dari Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB), menggarisbawahi peran penting China, dengan mencatat bahwa pemulihan ekonomi Asia terutama digerakkan oleh China, yang menyumbang 64,2 persen dari total pertumbuhan.
Hal ini menunjukkan bahwa China dan AS berperan sebagai "jangkar penstabil" dan "mesin" kawasan Asia-Pasifik. Jika hubungan China-AS baik, kawasan ini diuntungkan, dan sebaliknya, jika hubungan kedua negara memburuk, kawasan ini akan dirugikan.
"Kerja sama antara AS dan China akan memperkuat kedua negara dan memberi manfaat bagi dunia," kata Jeffrey Sachs, profesor ekonomi sekaligus direktur di Pusat Pembangunan Berkelanjutan di Universitas Columbia. "Hal ini benar dan memang sangat mungkin."
Tujuan untuk mencapai pembangunan global dan kesejahteraan bersama "melampaui segala-galanya," kata Paul Frimpong, yang menjabat sebagai direktur eksekutif wadah pemikir Ghana, China-Africa Center for Policy and Advisory.
"Mereka (AS dan China) harus bekerja sama untuk mewujudkan pembangunan di dunia," ujar Frimpong.
Bekerja sama demi kepentingan bersama
Seperti yang telah berulang kali dikatakan oleh Xi, "Negara-negara besar harus bertindak seperti negara besar," sehingga China dan AS, dua kekuatan ekonomi besar dunia, memikul tanggung jawab untuk memandu dunia ke masa depan dan harus menunjukkan semangat tanggung jawab.
Mengatasi isu-isu global, seperti perubahan iklim, membutuhkan kerja sama antara China dan AS. Sangat penting untuk menyadari bahwa tantangan dunia yang saling terhubung menuntut penghapusan pendekatan sepihak.
Sangatlah penting bagi AS dan China untuk menjembatani perbedaan mereka dan bekerja sama dalam mengatasi isu-isu besar, seperti perubahan iklim dan transisi hijau, tutur Lucio Blanco Pitlo, seorang peneliti di wadah pemikir Filipina, Asia-Pacific Pathways to Progress Foundation.
Di samping itu, "sangat penting untuk membantu negara-negara berkembang mengejar ketertinggalan mereka dalam peralihan dari jenis bahan bakar yang menimbulkan polusi ke bentuk energi yang lebih ramah lingkungan dan lebih berkelanjutan," ujar Pitlo.
Hubungan China-AS yang stabil menunjukkan bahwa meskipun di tengah perbedaan, kedua negara dapat menemukan kesamaan demi kebaikan yang lebih besar, kata Joseph Mutaboba, seorang ahli Hubungan Internasional dan Diplomatik dari Rwanda.
"Stabilitas ini sangat penting untuk mengatasi isu-isu global yang mendesak, mulai dari perubahan iklim hingga krisis kesehatan masyarakat, serta untuk mendorong tatanan internasional yang harmonis," imbuh Mutaboba.
Di tengah ketegangan geopolitik, seperti krisis yang sedang berlangsung di Ukraina dan konflik Palestina-Israel, kerja sama antara kedua negara menjadi lebih mendesak daripada sebelumnya.
"Perang terbaru di Gaza tidak hanya menjadi pengingat bagi rakyat AS bahwa China bukanlah ancaman bagi AS atau perdamaian dunia, tetapi juga menawarkan kesempatan bagi Washington dan Beijing untuk bekerja sama dalam menghadapi tantangan-tantangan global yang ada, termasuk konflik di Timur Tengah," ungkap sebuah artikel opini yang dimuat di The Hill. "Sekarang waktunya untuk melakukan reboot kebijakan AS terhadap China."
Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2023