Jakarta (ANTARA) - “Hai kaum wartawan, kita adalah pemegang saham negara ini. Republik Indonesia," tandas saya hampir di setiap pendidikan atau pelatihan pers, tingkat apapun. Pernyataan itu memang setengah provokatif, namun substansinya benar adanya.

Berbeda dengan sejarah pers di banyak negara lain, pers Indonesia memiliki peran dan sumbangsih yang melekat pada kemerdekaan Indonesia. Terciptanya proses bangsa dan kemerdekaan Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari kehadiran pers Indonesia.

Ketika konsep bangsa Indonesia belum ada, perslah yang mengembuskan dan mencetuskan lahirnya konsep bangsa Indonesia yang merdeka. Bangsa yang berbahasa Indonesia.

Di Indonesia, para wartawan merupakan profesi yang memulai adanya suatu konsep kebangsaan Indonesia, sekaligus mengeksekusi dalam kenyataaan.

Ihwal gagasan perlunya ada bangsa Indonesia yang merdeka, begitu banyak wartawan yang dianiayai, dipenjara, sampai dengan dibunuh oleh penjajah, lantaran mengemukakan perlunya adanya bangsa Indonesia merdeka, baik dalam kiprah nyata, maupun melalui tulisan-tulisan para wartawan.

"Gerakan" ini dibenci oleh penjajah Belanda, sehingga mereka mengambil tindakan bengis terhadap para wartawan yang bermimpi dan memperjuangkan adanya sebuah bangsa Indonesia yang merdeka.

Ada pula pers yang jelas-jelas mewujudkan “impian” Indonesia merdeka lewat judul pers mereka, seperti “Benih Merdeka” dan sebagainya.


Segala aspek penting

Segala aspek penting kebangsaan Indonesia, tidak terlepas dari tangan wartawan Indonesia. Proklamator Bung Karno dan Bung Hatta, sebelumnya juga jelas berprofesi wartawan. Tak heran, mereka memiliki kemampuan menulis yang hebat.

Pencipta lagu “Indonesia Raya,” Wage Rudolf (WR) Soepratman, ketika menciptakan lagu itu masih beprofesi sebagai wartawan. Layaknya wartawan zaman itu, kemana-mana Soepratman, kala itu, masih membawa notes untuk mencatat.

Manakala secara resmi “Indonesia Raya” dikumandangkan dalam Sumpah Pemuda 1928, WR Soepratman pun masih beprofensi wartawan. Jadi, lagu kebangsaan Indonesia merupakan sumbangsih dari orang yang kala itu berprofesi sebagai wartawan.


Dua kutub

Penyebutan bahasa Indonesia, seperti kita kenal sekarang, juga, lagi-lagi berkat jasa wartawan. Kali ini, lewat wartawan Mohammad Tabrani. Dialah yang dahulu menengahi “silang pendapat” bahasa apa yang perlu dipakai bangsa Indoensia, kelak, jika merdeka.

Waktu itu ada dua “kutub” mendukung bahasa apa yang harusnya dipakai bangsa Indonesia ke depan.

Kutub pertama, yang mendukung agar Bahasa Melayu yang dipakai oleh Bangsa Indonesia. Banyak argumentasi dari para mendukung kutub ini. Mereka, antara lain, mendengungkan bahwa akar dari Bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu. Jadi, tak ada pilihan lain, bahasa Bangsa Indonesia kelak harus ditetapkan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Indonesia. Sebutannya pun “Bahasa Melayu.”

Kutub ini mendapat dukungan dan dipelopori oleh cendikiawan Muhammad Yamin.

Kutub kedua, yang menginginkan agar bahasa yang dipakai oleh Bangsa Indonesia adalah Bahasa Jawa. Alasannya, meskipun Indonesia terdiri dari berbagai-bagai suku, tapi mayoritas jumlah manusia bangsanya, terbanyak dari Suku Jawa. Wajarlah sebagai jumlah anggota terbesar, bahasanya juga dipakai sebagai bahasa Bangsa Indonesia.

Tabrani tidak mendukung kedua kubu tersebut, tapi dia juga tidak menolak. Bahasa Melayu memiliki akar bagi perkembangan Bahasa Indonesia, kelak. Meskipun demikian, bagi Tabrani, Bahasa Melayu dipandang mengandung kolonialisme karena sering disebut bahasa inlander.

Sebaliknya, jika Bahasa Jawa yang dipakai, struktur bahasa banyak yang tidak cocok dengan struktur sosial suku lain. Belum lagi akan banyak yang menolak Bahasa Jawa, terutama dari suku-suku non-Jawa.

Jadi bahasa apa yang harus dipakai? "Bahasa Indonesia!!" tegas Tabrani. Hal ini sesuai dengan proses berbangsa dan bertanah air Indonesia. Maka bahasanya pun harus Bahasa Indonesia.

Pendapat Tabrani inilah yang kemudian dirumuskan dalam Sumpah Pemuda 1928.


Soal sangat penting

Soal bahasa nasional, kini terbukti menjadi sesuatu yang sangat luar biasa penting. Bahasa nasional dapat mempersatukan bangsa, sekaligus menjadi kebanggaan identitas suatu bangsa.

Sampai kini, India belum mempunyai bahasa nasional yang diakui oleh seluruh suku yang ada disana. Akibat soal pemakaian bahasa ini, di India masih sering terjadi pertumpahan dari antarsuku.

Amerika sebagai negara besar juga tak memiliki bahasanya sendiri. Bahasa Amerika adalah Bahasa Inggris, bukan Bahasa Amerika.

Gagasan dan sikap tegas Tabrani yang mengusung Bahasa Indonesia sebagai bahasa Bangsa Indonesia, jelas merupakan pemikiran dan sikap yang penting dalam proses berbangsa dan bernegara bagi Indonesia. Adanya bahasa nasional, Bahasa Indonesia, membuat Bangsa Indonesia terhindar dari perpecahan.

Hal ini terang benderang, satu lagi bukti nyata, wartawan berperan besar ikut membangun negara ini, republik ini. Maka profesi wartawan di Indonesia bukan sekadar profesi pelengkap penyerta. Profesi wartawan di Indonesia adalah salah satu unsur pembentuk Republik Indonesia. Oleh karenanya tak berlebihan jika disebut, wartawan adalah pemegang saham di Indonesia.

Pahlawan sipil

Atas jasa-jasanya, Tabrani yang lahir di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, 10 Oktober 1904, dengan nama Mohammad Tabrani Soerjowitjitro, tepat pada hari pahlawan 10 November 2023 dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Tabrani ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional bersama lima tokoh lainnya. Kelimanya adalah Ida Dewa Agung Jambe dari Bali, Bataha Santiago dari Sulawesi Utara, Ratu Kalinyamat dari Jawa Tengah, Kiai Haji Abdul Chalim dari Jawa Barat, dan Kiai Haji Ahmad Hanafiah dari Lampung.

Tabrani melengkapi gelar Pahlawan Nasional yang bukan dari unsur tentara, tetapi dari sipil, dari profesi wartawan. Ini tentu sebuah kebanggaan buat dunia wartawan.

Sebelum Tabrani, ada seniman Usmar Ismail yang pernah menjadi Ketua Umum PWI, juga dianugerahi gelar pahlawan, lantaran jasa-jasanya di bidang kebudayaan.

Tabrani berkiprah sebagai wartawan, antara lain dimulai dari Surat Kabar Pemandangan, Hindia Baroe, dan lainnya.

Pada 10 Januari 1926, Tabrani menerbitkan tulisan sebagai gagasan awal untuk menggunakan nama "Bahasa Indonesia". Gagasan tersebut didasari oleh kentalnya sifat kedaerahan masyarakat Indonesia pada saat itu.

Keberadaan masyarakat seperti ini, dalam pandangan Tabrani, lebih mementingkan suku atau daerah masing-masing. Kondisi ini tercermin dari berbagai organisasi pemuda kala itu yang banyak mengusung nama daerah. Misalnya Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, dan lainnya.

Tabrani menorehkan pula tulisan berjudul “Bahasa Indonesia” dalam koran “Hindia Baru“ di kolom Kepentingan, edisi 11 Februari 1926. Dengan tegas ia menuliskan, ”Bangsa Indonesia belum ada, terbitkanlah Bangsa Indonesia itu! Bahasa Indonesia belum ada, terbitkanlah Bahasa Indonesia itu!”


Pengikat persatuan

Sejarah mencatat, Tabrani saat masih berusia 32 tahun telah menolak Bahasa Melayu pada Kongres Pemuda pertama yang digelar 30 April-2 Mei 1926. Tabrani secara tegas menolak pemikitan Mohammad Yamin yang mengusulkan butir ketiga resolusi kongres, yaitu “menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Melayu.”

Terhadap gagasan Muhamad Yamin itu, Tabrani menyatakan. ”Nama bahasa persatuan hendaknya bukan Bahasa Melayu, tetapi Bahasa Indonesia. Kalau belum ada, harus dilahirkan melalui Kongres Pemuda Indonesia pertama ini,” katanya, sebagaimana dikutip dalam tulisan Tabrani Berjudul “Sebuah Otobiografi M Tabrani: Anak Nakal Banyak Akal”.

Menurut Tabrani, jika bahasa yang digunakan Melayu, seperti diusulkan Mohammad Yamin, seolah-olah sebutan itu mengandung sifat imperialisme dari Bahasa Melayu kepada bahasa-bahasa lain.

Tabrani, kala itu, menegaskan ”Karena menurut keyakinan kita, kemerdekaan bangsa dan Tanah Air kita Indonesia ini, terutama akan tercapai dengan jalan persatuan anak Indonesia, yang antara lain terikat oleh Bahasa Indonesia.”

Pada kongres pertama, perdebatan antara Tabrani dan Yamin tak mencapai titik temu. Maka, akhirnya, pembahasan soal bahasa ditunda sampai digelar Kongres Pemuda Indonesia II pada 1928.

Tabrani mengemukakan argumentasinya, tujuannya mengusulkan dan mempertahankan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Bangsa Indonesia, agar terjadi koherensi ketika dicetuskan membangun Tanah Air dan Bangsa Indonesia.

Bagi Tabrani, lantaran tanah air sudah ada, bangsa sudah ada, lalu kita harus punya bahasa, yakni Bahasa Indonesia.

Berdasarkan pengalaman Tabrani sendiri sewaktu sekolah di OSVIA, sebagian pelajar menggunakan Bahasa Belanda. Memakai Bahasa Belanda, waktu itu, selain dipandang lebih berpendidikan, juga dinilai lebih bergengsi. Tak heran masyarakat sendiri, waktu itu, menganaktirikan Bahasa Indonesia . Maka penting memiliki bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia menjadi lambang dan perekat persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. Dengan adanya Bahasa Indonesia, persatuan Indonesia dan kesatuan Indonesia dapat langsung terwujud.

Bayangkan jika tidak ada Bahasa Indonesia, Bangsa Indonesia mungkin sudah lebih dahulu porak poranda, jauh sebelum proses kebangsaan Indonesia terbentuk. Berkat adanya Bahasa Indonesia, Bangsa Indonesia pun dapat bersatu padu.


Bukti pemegang saham

Begitulah, lewat wartawan Tabrani yang masih hangat ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, menegaskan, jika pers Indonesia selama ini selalu saja terlibat dan memperhatikan masalah-masalah Bangsa Indonesia, seperti soal pemilu atau pilpres, pemberantasan korupsi, ketidakadilan, dan sebagainya, bukanlah sekadar gagah-gagahan, atau mengejar unsur komersial belaka, melainkan meneruskan tradisi membangun dan mengembangkan Bangsa Indonesia yang merdeka dan menyejahterakan. Tegasnya, semua itu untuk kepentingan umum.

Selain itu, sekali lagi, dari penetapan wartawan Tabrani sebagai Pahlawan Nasional, membuktikan pula kepada kita bahwa wartawan merupakan pemegang saham di Republik Indonesia. Wartawan Indonesia bukanlah pihak yang sekadar "indekos" di negaranya. Wartawan Indonesia juga bukan sekadar penumpang di perahu besar Bangsa Indonesia. Wartawan Indonesia adalah salah satu pendiri Indonesia. Wartawan Indonesia merupakan profesi yang ikut menancapkan tonggak-tonggak sejarah Bangsa Indonesia.

Wartawan adalah bagian dari pemegang saham Bangsa Indonesia. Dengan begitu, bagi yang suka merendahkan atau menghina profesi wartawan Indonesia, sama saja dengan melecehkan pemegang saham bangsa Indonesia.

*) Wina Armada Sukardi adalah pakar hukum dan etika pers

Copyright © ANTARA 2023