JAKARTA (ANTARA) - Masa kampanye pilpres bagai musim semi bertabur janji. Janji manis bertebaran di jalan-jalan melalui baliho, di lapangan dan stadion lewat orasi, juga dalam iklan televisi, tayangan siniar, dan berbagai medium seolah tak ada yang luput dari taburan iming-iming. Sebagaimana konsumen cerdas, konstituen juga harus cakap mengunyah bahasa iklan, agar tak terserang “diabetes” oleh karena menelan banyak janji yang terlalu manis.
Publik tengah menghirup banyak angin surga dari para kontestan Pemilihan Presiden 2024. Janji manis berupa yang gratis-gratis meluncur deras tanpa pijakan rasionalitas. Mulai dari iuran BPJS, BBM, hingga makan siang dijanjikan gratis, angka kemiskinan dijanjikan turun drastis, menciptakan 17 juta lapangan kerja baru dan berbagai kemudahan layanan publik.
Bila kita rangkum semua janji manis itu, barangkali akan tercipta surga dunia di Indonesia. Terlepas apakah itu sungguh nyata atau fatamorgana. Yang penting janji saja dulu, bagaimana realisasi urusan nanti.
Bahkan negarawan Uni Soviet Nikita Sergeyevich Khrushchev pernah menggambarkan betapa mengada-ada janji politik itu.
“Politikus itu di mana-mana sama. Mereka berjanji membangun jembatan, meskipun tidak ada sungai di sana”.
Setiap janji berkorelasi dengan penganggaran dan cara pendanaan. Bila banyak yang dijanjikan gratis, dari mana sumber pendanaannya? Dana APBN bukanlah warisan nenek moyang yang boleh dihambur-hamburkan, melainkan harus dibelanjakan dengan memenuhi prinsip akuntabilitas karena sumber APBN salah satunya berasal dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat.
Janji yang muluk-muluk, bisa jadi menghina kecerdasan pemilih. Karena data Kementerian Dalam Negeri di pengujung tahun 2022 mencatat sejumlah 77,63 juta penduduk Indonesia telah mengenyam pendidikan minimal SMA hingga S3. Atau sekitar 38 persen dari total jumlah pemilih yang sebesar 204, 8 juta sekian.
Pendidikan setara SLTA dapat diasumsikan telah mampu berpikir rasional, termasuk mencerna janji mana yang masuk akal atau yang asal bunyi. Hanya membutuhkan sedikit daya kritis untuk dapat menilai janji yang lebih masuk akal. Minimal, janji yang disertai penjelasan cara untuk merealisasikannya.
Janji kampanye merupakan uji kejujuran pertama bagaimana calon pemimpin layak dipercaya. Para peserta kontestasi pilpres semestinya menyadari betapa mahalnya harga kepercayaan. Maka jangan pernah cedera bicara karena begitu pemilih hilang kepercayaan, tak mudah memulihkannya.
Pilih-pilih pemimpin
Kualitas kehidupan kita adalah tanggung jawab masing-masing pribadi. Namun dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, memilih pemimpin yang tepat menjadi tanggung jawab bersama demi RI yang mandiri dan bermartabat. Pemimpin cakap yang mampu mengelola pemerintahan secara profesional dan menciptakan birokrasi bersih akan mempermudah warga dalam mencapai kualitas hidup yang baik.
Layaknya berbelanja, dalam memilih pemimpin kita juga harus jeli mengenali “barang” berkualitas tanpa terpengaruh gegap gempitanya iklan yang berseliweran. Barang berkualitas biasanya tak perlu iklan berlebihan karena mutu tinggi yang bakal menjualnya.
Untuk memilih pemimpin yang kelak akan kita nobatkan sebagai orang nomor satu di Indonesia, tentu tak bisa sembarangan dengan metode cap cip cup yang amat berisiko. Beberapa indikator berikut bisa menjadi panduan sederhana dalam memilih capres:
- Janji kampanye. Jangan mudah kepincut dengan janji yang menerbangkan anganmu tinggi di awan-awan. Tetap berpijaklah ke Bumi, berpikir kritis dan realistis. Cermati setiap janji dan bandingkan satu sama lain, mana janji yang lebih masuk akal dan tidak terkesan berlebihan. Dan janji yang berlebihan lebih mendekati ke omong kosong. Maka jangan pilih calon yang besar omong kosongnya, karena mereka sangat berani, seperti ungkapan pujangga Inggris William Shakespeare dalam tulisan “As You Like It”.
“Bicara dengan kata-kata berani, bersumpah dengan sumpah berani, dan melanggarnya dengan berani”.
- Rekam jejak. Telusuri dan telisik rekam jejak dia satu atau dua dekade ke belakang. Pernahkah dia terindikasi korupsi, melanggar HAM, cedera moral, dan sejenis skandal. Cara paling mudah menelusuri rekam jejak seseorang adalah dengan mencarinya melalui situs mesin pencari daring, ketik nama lengkap atau panggilan populernya, maka akan muncul semua pemberitaan tentangnya. Bila lebih banyak berita miring mengenai dia, lebih baik coret dari daftar pilihanmu.
- Politik uang. Tak perlu menguji lama, sekali saja seorang capres atau tim suksesnya mencoba menyogok masyarakat dengan uang atau pemberian barang yang dapat dicurigai sebagai politik uang, tolak dan langsung coret namanya. Karena pemimpin yang sejak awal sudah main politik uang, selanjutnya tidak akan menjadi pemimpin jujur. Kelak ketika menjabat, ia akan mencari pemasukan tidak sah untuk mengembalikan modal biaya kampanyenya dulu.
- Pencitraan. Kenali sifat aslinya, apakah sikap dan perilakunya sebaik seperti sebelum masa kampanye berlangsung. Artinya sebelum dicalonkan capres pun dia memiliki sifat dan perilaku baik dan reputasi bagus, bukan tiba-tiba menjadi baik saat musim kampanye. Seseorang yang asli baik, kebaikannya akan konsisten dengan atau tanpa adanya kepentingan. Konsistensi menjadi kunci untuk menilai apakah seseorang baik secara natural atau pencitraan.
- Sportivitas. Pemain sportif akan fokus pada peningkatan kapasitas diri, tidak menjelekkan dan menjatuhkan lawan untuk membuat diri tampak lebih unggul. Berkompetisi secara sehat, menyadari kekurangan diri dan memperbaikinya, mengakui keunggulan lawan dan mengapresiasinya. Capres yang hanya sibuk mengkritisi petahana dan kebijakan yang sedang berjalan, bisa jadi ia hanya ahli kritik yang belum tentu mampu bekerja lebih bagus ketika diberi kesempatan mengemban tugas yang sama.
Partisipasi publik
Politik adalah dunia yang penuh dinamika, drama, manuver, dan tipu-tipu. Meski begitu, masyarakat jangan lantas apatis dan menarik diri dari keikutsertaan dalam menentukan nasib bangsa melalui pesta demokrasi. Bila orang-orang baik tak sudi berpartisipasi, maka orang-orang jahat yang akan menguasai dan memengaruhi kebijakan publik.
Sebagaimana penyair Jerman Bertolt Brecht mengingatkan, “Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik …”
Agar tak kecewa dan merana pascapemilu, sejak awal harus disadari bahwa janji politik tidak mempunyai kekuatan mengikat yang wajib dipenuhi dan tidak pula menimbulkan sanksi hukum. Namun janji politik mengandung kekuatan moral, yang bila diingkari mereka (pemberi janji) bakal “ditandai” dalam rentang waktu lama.
Supaya tak sekadar menjadi bualan dalam ajang adu rayu, ada baiknya janji politik bersifat dua arah antara kontestan dan konstituen pemilu kemudian dituang dalam dokumentasi tertulis yang ditandatangani masing-masing pihak. Kelak ketika sang kandidat telah menaiki tampuk kekuasaan, rakyat dapat menagih poin-poin janji yang telah disepakati itu.
Padahal bagi pejabat publik yang mengerti betapa pentingnya reputasi, janji politik adalah utang yang mesti dilunasi meski tak ada bukti tertulis. Karena runtuhnya kepercayaan publik berarti akhir dari karier politik seseorang.
Dengan sisa kepercayaan yang masih ada, mari tetap berpartisipasi dalam pesta demokrasi nanti dengan memilih calon pemimpin yang lebih sepi dalam janji tapi ramai dalam karya.
Pemilihan Presiden 2024 bakal diikuti tiga pasangan, dengan nomor urut 1: Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar. Nomor urut 2: Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dan nomor urut 3: Ganjar Pranowo-Mahfud Md.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023