Denpasar (ANTARA) - Sekretaris Daerah (Sekda) Bali Dewa Made Indra mengingatkan bahwa tak hanya aparatur sipil negara (ASN), tapi pegawai pemerintah Non ASN juga harus ikut netral dalam pemilu, ketentuan ini ketat dan memiliki konsekuensi hukum apabila dilanggar.

“Khusus tenaga kontrak di lingkup Pemprov Bali, terdapat kebijakan tersendiri juga yang mengatur terkait netralitas dalam Pemilu, yakni SE Menpan RB Nomor 01 Tahun 2023 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri (PPNPN). Jadi, kawan-kawan yang statusnya tenaga kontrak masuk dalam ketentuan ini juga harus netral, jadi tidak boleh ikut dalam kegiatan-kegiatan politik praktis,” kata dia.

Dalam pertemuan daring antara Sekda Bali dan jajaran bersama Bawaslu Bali di Denpasar, Rabu, ia menjelaskan hal itu berdasarkan keputusan bersama Menpan RB, Mendagri, Kepala BKN, Ketua KASN dan Ketua Bawaslu RI bahwa terdapat mandat kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) untuk melaksanakan empat hal penting.

Empat hal dimaksud yakni melaksanakan sosialisasi terkait netralitas ASN dan Non ASN; melaksanakan ikrar tentang netralitas; penandatanganan pakta integritas; serta membuat sistem informasi tentang pelanggaran netralitas.

Sekda Dewa Indra menyampaikan bahwa risiko yang akan dihadapi pegawai pemerintahan apabila terjerat pelanggaran netralitas akan berat mulai dari hukuman administratif, sampai hukuman pidana.

“Jadi jangan dianggap remeh, bukan sekadar teguran lisan, teguran tertulis, penurunan pangkat, bukan. Bawaslu bisa membawa Anda yang melanggar ini ke ranah pidana, artinya penjara. Tentu saya selaku orang tua, sebagai pimpinan, tidak ingin jajaran saya yang dibawa ke sana,” ujarnya.

“Apa yang saya laksanakan sekarang ini untuk mengayomi, agar jangan sampai ada yang salah langkah. Apabila ada yang sampai melanggar, berarti ini adalah kegagalan saya selaku orang tua, kegagalan saya selaku pemimpin,” kata dia lebih lanjut.

Ketua Bawaslu Bali Putu Agus Tirta Suguna menambahkan bahwa netralitas ASN dan Non ASN harus dipatuhi karena selain surat edaran tadi juga ada undang-undang yang mengatur, yaitu UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara dan UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Menurut Agus, adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi netralitas pegawai pemerintahan dalam pemilu, biasanya budaya paternalistik birokrasi, kekerabatan, serta adanya ASN dan non ASN yang kurang memahami regulasi dan intervensi politik.

“Di tengah-tengah tahapan pemilu yang sedang berlangsung ini, saya berharap kepada semua jajaran ASN dan Non ASN untuk tetap menjaga netralitas diri, tetap menjaga dan menahan diri untuk terlibat pada kegiatan politik praktis. Salah satu contoh bagaimana bapak atau ibu nanti bisa turut bersosialisasi atau bertemu dengan pasangan calon untuk tidak menunjuk atau menggunakan jari yang dipermainkan berkaitan paslon tersebut,” ujarnya.

Selain itu, tindakan yang dianggap melanggar kode etik seperti turut dalam pemasangan spanduk, baliho, atau alat peraga terkait calon peserta pemilu, sosialisasi atau kampanye media sosial untuk calon, menghadiri deklarasi kampanye paslon dan memberikan dukungan secara aktif, membuat postingan pada media sosial yang dapat diakses publik, foto bersama dengan paslon, timses dan alat peraga parpol, membuat postingan, komentar, membagikan postingan dan menyukai, bergabung dalam grup pemenangan paslon, menjadi pengurus atau anggota partai politik.

“Setiap ASN yang ikut sebagai pelaksana dan tim kampanye dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp12 juta, sesuai bunyi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 494. Mekanisme penanganan pelanggaran netralitas ASN dimulai dengan adanya temuan atau laporan, berikutnya ditindaklanjuti dengan pengkajian serta diakhiri dengan rekomendasi kepada penyidik,” kata Agus menjelaskan.

Pewarta: Ni Putu Putri Muliantari
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2023