"Namun, keterampilan yang dimiliki oleh lulusan harus selaras dengan industri, " ujar Piter dalam diskusi yang diselenggarakan Cempaka Study Club di Universitas YARSI, Jakarta, Selasa.
Piter menambahkan yang dikejar oleh lulusan bukan lagi gelar, tapi kemampuan pada bidang-bidang tertentu, sehingga industri mudah menyerap lulusan.
Baca juga: Mitras DUDI perkuat kemitraan pendidikan vokasi di Papua Barat
Untuk menjadi negara maju, Indonesia harus meningkatkan pendapatan per kapita di atas 13.000 dolar Amerika Serikat (AS), dan saat ini masih 4.000 dolar AS.
“Tidak mudah untuk meningkatkan menjadi negara maju, karena dibutuhkan pertumbuhan ekonomi luar biasa. Untuk jadi negara maju butuh pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen selama 10-15 tahun ke depan. Selama era Presiden Jokowi, pertumbuhan rata-rata lima persen. Namun, potensi untuk maju itu ada, karena Indonesia punya sumber daya alam dan bonus demografi,” kata Piter dalam diskusi yang didukung Meeting.ai itu.
Agar bonus demografi mendukung pertumbuhan ekonomi, harus ada lapangan pekerjaan yang cukup agar tidak terjadi ledakan pengangguran. Tiap pertumbuhan ekonomi satu persen menyerap sekitar 250.000 angkatan kerja.
"Jika lima persen, berarti hanya sekitar 1,25 juta lapangan kerja formal. Padahal, pertumbuhan angkatan kerja mencapai tiga juta. Bahkan, Lembaga Demografi UI mengatakan sudah empat juta," katanya.
Pelaksana Tugas Direktur Kemitraan dan Penyelarasan Dunia Usaha dan Dunia Industri (Mitras DUDI), Ditjen Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek, Uuf Brajawidagda mengatakan pendidikan vokasi perlu selalu relevan dengan pembangunan ekonomi. “Pendidikan vokasi harus relevan. Kita bekali para siswa fleksibel untuk mengantisipasi perkembangan zaman,” kata Uuf.
Baca juga: Pengembangan kompetensi siswa vokasi jadi isu strategis
Baca juga: Nadiem: SMK PK upaya penguatan kolaborasi dengan DUDI
Pendidikan vokasi di Indonesia saat ini mencakup sekitar 14.000 SMK, 2.000 program studi vokasi, 273 Politeknik dan Akademi Komunitas, 17.000 lembaga pelatihan dan kursus. Kehadiran lembaga vokasi ini dapat dikaitkan dengan agenda pembangunan ekonomi, sehingga tetap relevan dengan agenda ekonomi nasional daerah.
Dalam tiga tahun terakhir, Kemendikbudrsitek membuka sekat-sekat pendidikan vokasi. Lembaga kursus dan pelatihan memiliki program PKK dan PKW, di level SMK ada SMK Pusat Keunggulan, dan pemadanan dukungan hingga di perguruan tinggi vokasi ada dana padanan (matching fund).
"Mitras DUDI mendorong pemanfaatan sekat-sekat yang makin terbuka di satuan pendidikan untuk menjadi kemitraan guna menggali potensi daerah, sehingga bisa berkontribusi di daerah juga,” kata Uuf.
Uuf mengatakan tantangan dalam pendidikan vokasi makin menarik dan berkualitas, seperti di Singapura, Politeknik diakui sebagai “saos rahasia ekonomi” Singapura.
Direktur ASTRAtech, Ricardus Henri Paul mengatakan kunci keberhasilan pendidikan vokasi, yakni adanya ekosistem yang mendukung.
Astratech menggunakan Dual System, yang mana pada tahun awal, para mahasiswa membuat produk yang sama seperti di industri, lalu tahun ketiga dan keempat magang, sehingga siap kerja. "Bahkan untuk penilaian akhir, dari sisi dukungan pada produktivitas industri," ujarnya.
Baca juga: Kemendikbud berikan Dana Kompetitif kepada 79 perguruan tinggi vokasi
SEmentara itu, Direktur Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia Padang Wicaksono mengatakan lulusan vokasi di UI ada yang nol bulan menunggu masa kerjanya. Jika program studi sesuai kebutuhan pasar, permintaan tenaga kerja tinggi, bahkan sebelum lulus mahasiswa sudah mendapat tawaran kerja.
Rektor Universitas Yarsi Fasli Jalal mengatakan keselarasan pendidikan vokasi dan industri harus diwujudkan. Pendidikan vokasi harus memastikan lulusan yang memiliki kemampuan berpikir analitis, siap untuk terus dilatih atau terus belajar dan kuat dalam soft skill yang dibutuhkan dalam dunia kerja.
Pewarta: Indriani
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023