Co-founder dan CEO Antheia Project Ruhani Nitiyudo dalam pernyataan di Jakarta, Selasa mengatakan pembuatan styrofoam melepas 57 jenis zat berbahaya ke udara dan gabus sintetis itu membutuhkan waktu sekitar 500 sampai 1 juta tahun untuk terurai oleh tanah.
"Styrofoam adalah jenis plastik yang bisa mencemari lingkungan. Oleh karena itu, styrofoam menjadi perhatian kami," kata Ruhani.
Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang sekarang telah melebur menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan sebanyak 59 persen sampah yang setiap hari masuk ke Teluk Jakarta adalah plastik dan styrofoam.
Baca juga: KLHK: Perubahan perilaku kunci hapus pemakaian plastik sekali pakai
Baca juga: Biofoam, kemasan alternatif aman untuk lingkungan hidup
Dari 18 kota besar di Indonesia, BRIN mencatat sebanyak 0,27 juta ton hingga 0,59 juta ton sampah masuk ke laut selama tahun 2018. Sampah yang paling banyak ditemukan adalah styrofoam.
Bahan styrofoam sebagai pembungkus makanan banyak masih digunakan oleh masyarakat maupun industri makanan karena bisa didapatkan secara mudah.
Di balik produknya yang mudah didapatkan, kata Ruhani, hanya sedikit orang yang menyadari bahwa sampah styrofoam sulit terurai bahkan bisa menjadi sampah abadi jika tidak diolah atau dikurangi penggunanya dengan baik.
"Kondisi itu membuat Indonesia dalam keadaan darurat sampah karena sampah styrofoam juga. Setelah beberapa kali audience visit kami mendapat insight baru sebagai salah satu solusi dalam mengatasi masalah sampah styrofoam," ujarnya.
Beberapa teknologi alternatif yang dapat digunakan untuk mengurangi sampah plastik termasuk styrofoam adalah ulat hongkong atau ulat tepung. Larva kumbang Tenebrio molitor itu bisa menjadi pakan burung.
Antheia Project menilai solusi itu belum bisa diterapkan secara masif di Indonesia yang menghasilkan sampah anorganik sangat banyak. Berbagai solusi terbaik terus dicari untuk menyelesaikan masalah sampah styrofoam tersebut.
"Kami mendorong UMKM dan bisnis lokal di Indonesia yang mungkin bisa menggunakan kemasan yang lebih ramah lingkungan dan lebih murah dari styrofoam itu sendiri," kata Ruhani.
Brand Ambassador & Content Creator Antheia Project, Jennifer mengatakan industri makanan yang masih menggunakan styrofoam sebetulnya punya kuasa untuk tidak memakai styrofoam sebagai bungkus makanan mereka.
Ia mencontohkan ada satu usaha makanan mie instan yang masih memakai styrofoam dan satu usaha serupa menggunakan bungkus kotak kertas. Padahal harga kedua kemasan makanan itu sama, namun usaha makanan yang masih menggunakan styrofoam itu enggan mengganti produk kemasan menjadi lebih ramah lingkungan.
Antheia Project mendorong usaha makanan untuk menggunakan kemasan alternatif, seperti plastik mudah terurai atau kotak kertas. Sedangkan, UMKM diimbau untuk kembali menggunakan kemasan tradisional berupa daun jati atau daun pisang.
Baca juga: KLHK minta instansi pemerintah kurangi penggunaan plastik sekali pakai
Baca juga: Kelurahan Cilandak Barat ubah "styrofoam" jadi media menanam sayur
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2023