Kirkuk, Irak (ANTARA News) - Serangkaian serangan menewaskan lima orang di Irak utara, Rabu, semuanya di wilayah sengketa yang dikhawatirkan para diplomat bisa menyulut konflik bersenjata besar.
Kekerasan itu terjadi di dan sekitar kota-kota berpenduduk etnik campuran, Kirkuk dan Tuz Khurmatu, yang terletak di kawasan yang menghampar dari perbatasan timur Irak dengan Iran hingga perbatasan baratnya dengan Suriah, lapor AFP.
Pemerintah Kurdistan Irak ingin memasukkan wilayah itu ke dalam kawasan tiga provinsi otonom mereka, namun hal itu ditentang oleh Baghdad.
Sejumlah diplomat mengatakan, masalah yang belum terpecahkan itu bisa menjadi salah satu ancaman terbesar bagi stabilitas jangka panjang Irak.
Di dekat Kirkuk, ledakan bom pinggir jalan menewaskan tiga orang -- seorang pria dan dua wanita, semuanya ada hubungan keluarga -- ketika mereka naik sebuah truk yang membawa hasil bumi, kata polisi dan dokter.
Di kota Kirkuk, orang-orang bersenjata membunuh seorang prajurit dan mencederai seorang lain, sementara seorang kepala suku ditemukan tewas di kota Tuz Khurmatu karena luka-luka tembakan. Di jasadnya juga ada tanda-tanda bekas penyiksaan, kata para pejabat.
Serangan-serangan di Baghdad dan penjuru lain Irak meningkat tajam dan Mei merupakan bulan paling mematikan sejak 2008, dimana lebih dari 1.000 orang tewas, menurut PBB.
Seorang utusan PBB untuk Irak memperingatkan bahwa kekerasan sudah "siap meledak".
Kekerasan Rabu itu merupakan yang terakhir dari gelombang pemboman dan serangan bunuh diri di tengah krisis politik antara Perdana Menteri Nuri al-Maliki dan mitra-mitra pemerintahnya dan pawai protes selama beberapa pekan yang menuntut pengunduran dirinya.
Lebih dari 450 orang tewas dalam kekerasan pada April, sementara jumlah kematian pada Maret mencapai 271.
Sepanjang Februari, 220 orang tewas dalam kekerasan di Irak, menurut data AFP yang berdasarkan atas keterangan dari sumber-sumber keamanan dan medis.
Irak dilanda kemelut politik dan kekerasan yang menewaskan ribuan orang sejak pasukan AS menyelesaikan penarikan dari negara itu pada 18 Desember 2011, meninggalkan tanggung jawab keamanan kepada pasukan Irak.
Selain bermasalah dengan Kurdi, pemerintah Irak juga berselisih dengan kelompok Sunni.
Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki (Syiah) sejak Desember 2011 mengupayakan penangkapan Wakil Presiden Tareq al-Hashemi atas tuduhan terorisme dan berusaha memecat Deputi Perdana Menteri Saleh al-Mutlak. Keduanya adalah pemimpin Sunni.
Pejabat-pejabat Irak mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Wakil Presiden Tareq al-Hashemi pada 19 Desember 2011 setelah mereka memperoleh pengakuan yang mengaitkannya dengan kegiatan teroris.
Puluhan pengawal Hashemi, seorang pemimpin Sunni Arab, ditangkap dalam beberapa pekan setelah pengumuman itu, namun tidak jelas berapa orang yang kini ditahan.
Hashemi, yang membantah tuduhan tersebut, bersembunyi di wilayah otonomi Kurdi di Irak utara, dan para pemimpin Kurdi menolak menyerahkannya ke Baghdad.
Pemerintah Kurdi bahkan mengizinkan Hashemi melakukan lawatan regional ke Qatar, Arab Saudi dan Turki. (M014)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013