Jakarta (ANTARA News) - DPR RI menyatakan wewenang yang diberikan UU kepada KPK untuk bekerja secara koletif adalah untuk menghindari penyalahgunaan wewenang.
Hal ini diungkapkan Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP Muhammad Nurdin, saat membacakan jawaban DPR dalam sidang pengujian Pasal 21 ayat (5) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) di Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Rabu.
Pasal 21 ayat (5) UU KPK berbunyi, "Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif."
Nurdin mengatakan frasa "bekerja secara kolektif" yang termuat dalam Pasal 21 ayat (5) UU KPK tidak bertentangan dengan prinsip kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menurut DPR, makna frasa bekerja secara kolektif sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal tersebut keberadaannya sangat diperlukan untuk memenuhi prinsip kehati-hatian, akuntabel, transparan, dan menjunjung tinggi hukum tanpa sedikitpun toleransi atas penyimpangan (zero toleranca).
"Prinsip-prinsip tersebut sangat diperlukan dalam proses penegakan hukum. Bahwa pemerintah dan DPR dalam membuat undang-undang itu dalam kaitannya memberikan kewenangan yang penuh kepada KPK untuk memberantas korupsi," katanya.
Lama atau cepatnya KPK dalam melaksanakan tugasnya memberantas korupsi, lanjut Nurdin, khususnya pada kasus-kasus tertentu tidak serta merta menyebabkan ketentuan Pasal 21 ayat (5) UU KPK menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan konstitusi.
Pengujian UU KPK diajukan oleh Pengacara Farhat Abbas dan Narliz Wandi Piliang.
Kedua pemohon ini mendalilkan bahwa pengambilan keputusan yang disyaratkan secara kolektif oleh pimpinan KPK mengakibatkan proses yang cukup lama dan tidak memberikan kepastian hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Farhat mencontohkan penetapan tersangka Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menjadi tersangka kasus Hambalang berlarut-larut karena lima pimpinan KPK terdapat satu pimpinan yang belum sepakat untuk meningkatkan status kasus tersebut dalam tingkat penyidikan.
Dengan demikian pengambilan keputusan secara kolektif telah menghambat ketua KPK untuk mempercepat upaya pemberantasan Korupsi.
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013