Belum lama beredar berita tentang anak yang melakukan perundungan melukai mata temannya dengan tusukan cilok hingga mengakibatkan kebutaan
Depok (ANTARA) - Guru besar tetap Ilmu Psikologi Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr. Rose Mini Agoes Salim, M.Psi, menyatakan penyebab utama dari munculnya perilaku buruk adalah karena kurangnya stimulasi moral pada seseorang.

"Saat ini banyak orang mengatakan bahwa Indonesia mengalami krisis moral. Dari beberapa kejadian yang terjadi belakangan ini menunjukkan perilaku buruk yang dilakukan oleh anak-anak remaja dewasa, maupun lansia," kata Prof. Dr. Rose Mini Agoes Salim di Kampus UI Depok, Senin.

Baca juga: Langkah konkret Bali cegah perilaku buruk wisatawan

Ia mencontohkan, belum lama beredar berita tentang anak yang melakukan perundungan melukai mata temannya dengan tusukan cilok hingga mengakibatkan kebutaan.

Ada juga, remaja yang menganiaya temannya sampai mengalami cedera otak, selain itu orang dewasa yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga ataupun tingkah laku korupsi yang dilakukan oknum-oknum tertentu.

Prof. Rose Mini mengatakan, kondisi yang diutarakan tersebut disebabkan karena manusia tidak dapat membedakan yang baik dan buruk atau disebut sebagai moral.

"Manusia lahir tidak ada yang amoral, namun setiap manusia memiliki moral dengan porsi yang berbeda-beda, sehingga dapat disimpulkan bahwa penyebab utama dari munculnya perilaku buruk adalah karena kurangnya stimulasi moral pada seseorang," jelasnya.

Lebih lanjut ia memaparkan, menurut Suseno (1987) moral mengacu pada baik buruknya manusia, sebagai manusia dan berperilaku sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut.

Moral harus di stimulasi sejak usia dini agar mereka mampu membedakan antara baik dan buruk, yang akan berguna untuk ke depannya. Agar dapat menstimulasi moral yang harus di lakukan mengenalkan “virtue” hal -hal yang esensial dalam moral agar dapat distimulasi satu per satu.

Baca juga: Remaja perlu punya ketahanan hindari perilaku buruk lewat kespro

Ia menyebut ada tujuh virtue (kebajikan) dalam moral yang terdiri dari tiga “core” (akar) moral, yaitu yang pertama adalah empati (empathy), yakni dengan mengajarkan awareness.

Dengan begitu, anak dapat memahami apa yang dirasakan dan memahami perasaannya serta juga mengajarkan sensitivitas pada orang lain.

Kedua adalah nurani (conscience), yaitu mengajarkan pada anak untuk memiliki suara hati, sehingga mampu membedakan mana yang benar dan salah dan berada pada jalur yang sesuai moral. Anak harus paham kenapa suatu perilaku itu salah dan apa dampaknya pada orang lain maupun dirinya sendiri.

Ketiga, kontrol diri (self control) dengan mengajarkan anak untuk berpikir sebelum bertindak.

Keempat, menghargai (respect) yaitu mengajarkan anak untuk menganggap orang lain berharga, memperlakukan orang lain seperti bagaimana ia ingin di perlakukan.

Kelima, yakni kebaikkan (kindness) yaitu mengajarkan anak untuk lebih memperhatikan kesejahteraan orang lain, dorong anak untuk selalu berperilaku baik dan anak memperoleh efek positif.

Keenam adalah tenggang rasa (tolerance) dengan mengajarkan anak menghargai perbedaan kualitas setiap individu (misalnya, gender penampilan, budaya, dll). Dan yang terakhir ketujuh adalah keadilan (fairness), yaitu mengajarkan anak untuk memperlakukan orang lain secara layak, adil, dan tidak memihak.

Tujuh virtue tersebut (empati, nurani, kontrol diri, menghargai, kebaikan, tenggang rasa, dan keadilan) harus di aplikasikan atau distimulasi pada anak usia dini. Moral harus ditanamkan (di insert) dalam diri anak usia dini agar dapat membedakan mana yang baik dan buruk.

"Stimulasi moral yang optimal di usia dini, diharapkan anak dapat menjadi generasi unggul di masa depan," ujar Prof. Rose Mini.

Baca juga: Terlalu banyak gula memicu anak berperilaku buruk

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Sambas
Copyright © ANTARA 2023