Salah satunya dengan menggunakan pendekatan persuasif seperti saat ini"Sampang (ANTARA News) - Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan menyatakan tidak menemukan indikasi indikasi konspirasi antara Pemkab dengan kelompok tertentu terkait pemindahan pengungsi Syiah dari Sampang ke Sidoarjo.
"Tidak ada konspirasi, dan kami memang tidak menemukan adanya indikasi konspirasi yang dilakukan oleh Pemkab," kata Asisten Deputi Koordinasi Harmonisasi Sosial Kemenko Polhukam Brigadir Jenderal Polisi Damisnur di Sampang, Jawa Timur, Rabu.
Damisnur mengemukakan hal itu menanggapi opini yang berkembang di kalangan masyarakat bahwa pemindahan pengungsi Syiah dari Sampang ke Sidoarjo karena adanya konspirasi antara Pemkab Sampang, dan Pemprov Jatim dengan kelompok mayoritas di wilayah itu, termasuk oleh petugas kepolisian Polres Sampang.
Ia menjelaskan, pemindahan warga Syiah ke Sidoarjo itu murni karena pertimbangan keamanan, dan untuk mendapatkan tempat yang lebih layak dibandingkan fasilitas pengungsian di Sampang.
Saat ini, kata Damisnur, pemerintah masih mengupayakan solusi terbaik bagi para pengungsi syiah karena faktanya hingga kini mereka menyatakan tetap ingin kembali ke kampung halamannya.
"Salah satunya dengan menggunakan pendekatan persuasif seperti saat ini," katanya.
Selain datang ke Sampang untuk memantau situasi keamanan secara langsung setelah pemindahan pengungsi dari Sampang ke Sidoarjo, tim Kemenko Polhukam juga mempertemukan perwakilan kedua belah pihak, yakni antara Syiah dengan tokoh ulama Sampang.
Ia menjelaskan, kasus Sampang memang memerlukan perhatian serius semua pihak. Kedua belah pihak yang bertikai, perlu duduk bersama, berfikir jernih, sehingga letak salah paham yang merupakan akar permasalahan itu bisa diketahui, sehingga segera teratasi.
"Jadi dari semua sisi nanti yang akan kami upayakan untuk menyelesaikan persoalan ini," katanya menambahkan.
Sementara, terkait keinginan warga Syiah unutk tetap kembali ke kampung halamannya di Desa Karanggayam, Kecamatan Omben dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, Damisnur menyatakan, itu harus melalui perlu proses di tingkat lokal.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbangpol Linmas) Rudi Setiadi mengatakan, konflik yang terjadi di Sampang ini bukan hanya persoalan paham keagamaan saja, akan tetapi juga karena kurangnya toleransi dalam menyikapi perbedaan pemahaman keagamaan.
Faktor pendidikan di kalangan masyarakat, kata dia, menjadi salah satu pemicu terjadi konflik itu.
"Makanya, ke depan kami akan mengupayakan untuk terus meningkatkan wawasan toleransi kepada masyarakat," katanya menjelaskan.
Konflik antara Islam Syiah dan Sunni di Sampang, Madura ini berawal dari hubungan keluarga antara pimpinan Islam Syiah Tajul Muluk dengan saudaranya Rois Al Hukama.
Ketika itu, keduanya masih sama-sama menganut aliran Syiah. Namun karena persoalan perempuan, Rois akhirnya memilih keluar dari aliran itu. Sejak saat itu, maka tersiar kabar di kalangan masyarakat Sampang penganut aliran Sunni, bahwa Tajul Muluk mengajarkan aliran Islam sesat.
Pada Agustus 2012, rumah pengikut Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, diserang kelompok bersenjata dan menyebabkan satu orang tewas, serta enam orang lainnya luka-luka.
Sebanyak 47 unit rumah milik penganut Syiah juga dibakar, termasuk madrasah dan mushalla. Penyerangan pada Agustus itu merupakan kali kedua. Sebelumnya pada Desember 2011, pengikut Tajul Muluk ini juga pernah diserang, dan sekitar 300 kepala keluarga terpaksa menungsi.
Berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan pemerintah, termasuk berupaya mendamaikan kedua belah pihak, namun hingga saat ini belum membuahkan hasil, hingga akhirnya pemerintah memutuskan agar penganut Syiah dipindah, sesuai dengan keinginan mayoritas ulama di Pulau Garam itu.
Pewarta: Abd Aziz
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013