Gaza (ANTARA) - Mohammed al-Amasi, seorang pemuda Palestina yang tinggal di Gaza, bersama lima rekannya berinisiatif meluncurkan program pendidikan sambil bermain guna membantu meringankan tekanan mental anak-anak penyintas perang di daerah kantong yang dilanda konflik tersebut.

Kelompok relawan itu setiap hari mengunjungi sekolah-sekolah yang beralih fungsi menjadi pusat-pusat pengungsian, satu demi satu di seantero Gaza, untuk menghadirkan tawa dan permainan bagi anak-anak pengungsi dan keluarga mereka.

Menggambar, mendongeng, bernyanyi, bermain dengan badut, dan bercerita adalah sebagian dari beberapa kegiatan yang bertujuan untuk membantu anak-anak mengatasi rasa takut dan cemas di tengah kekacauan dan kehilangan.

"Anak-anak biasanya yang paling terkena dampak perang. Belum lagi sebagian besar dari mereka belum pulih dari guncangan psikologis yang dihadapi dalam perang-perang sebelumnya," kata Al-Amasi kepada Xinhua.

"Perang ini adalah yang terburuk dari semuanya, tidak hanya untuk anak-anak tetapi juga untuk orang dewasa. Serangan Israel memusnahkan seluruh keluarga," ujarnya.

Dia menambahkan bahwa mereka menyaksikan anak-anak yang selamat terjebak dalam pikiran dan ketakutan yang berkepanjangan tentang kematian, lama setelah mereka lolos dari serangan.

Seorang sukarelawan berinteraksi dengan anak-anak selama kegiatan stimulasi dan bantuan psikologis di sebuah sekolah yang berafiliasi dengan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) di kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, 8 November 2023. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)

Konflik berdarah antara Hamas dan Israel sejak 7 Oktober telah menjerumuskan lebih dari 2,3 juta warga di Gaza ke dalam krisis kemanusiaan, dengan akses ke makanan dan air yang sangat terbatas, tidak ada bahan bakar untuk listrik, dan "kehancuran total" sistem kesehatan.

Pada Rabu (8/11), hari ke-33 dari konflik Israel-Hamas yang sedang berkecamuk, kementerian kesehatan yang berbasis di Gaza mengatakan bahwa serangan Israel di Gaza telah menewaskan setidaknya 10.569 warga Palestina, termasuk 4.324 anak-anak.

Sementara itu, hampir 1,5 juta warga Palestina mengungsi di daerah kantong yang terkepung itu.

"Hidup dalam situasi keamanan yang berbahaya seperti ini, beberapa anak terlihat mengisolasi diri dan tanpa disadari menunjukkan reaksi lainnya akibat trauma, sementara yang lainnya menjadi lebih kasar dibandingkan sebelum perang," katanya.

Suzan Ayyad (39), seorang ibu empat anak, mengatakan kepada Xinhua bahwa semua anaknya mulai tidak dapat mengendalikan buang air kecil bahkan pada siang hari, terutama saat mereka mendengar ledakan bom.

"Sayangnya, senjata Israel tidak membeda-bedakan antara anak kecil dan orang dewasa, atau antara warga sipil dan tentara," tuturnya.

Relawan melakukan permainan dengan anak-anak selama kegiatan stimulasi dan bantuan psikologis di sebuah sekolah yang berafiliasi dengan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) di kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, 8 November 2023. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)

Heba Al-Rayes, salah satu pelopor program ini, mengatakan bahwa permainan diharapkan tidak hanya memungkinkan anak-anak yang stres untuk melepas ketegangan, tetapi juga memberikan mereka rasa kendali dan memiliki, karena mengetahui bahwa orang-orang masih peduli dengan mereka

Misalnya, saat lomba lari anak-anak perempuan, orang tua mereka juga berkumpul untuk bertepuk tangan dan bersorak-sorai menyemangati, tuturnya.

"Hampir setiap orang dewasa di Gaza pernah mengalami tragedi yang sama pada suatu titik dalam hidup mereka, itulah sebabnya kita semua dapat memahami perasaan masing-masing," kata Al-Rayes.

Seorang ahli psikologi di Gaza, Fadel Abu Hin, mengatakan kepada Xinhua bahwa "dampak psikologis dari konflik dan perang berbeda-beda pada setiap orang."

"Beberapa orang mengembangkan penyakit mental seperti depresi atau gangguan obsesif-kompulsif, dan yang lain menjadi lebih memusuhi kehidupan secara umum, khususnya orang-orang yang dekat dengan mereka," tambahnya.

Abu Hin memuji upaya-upaya yang dilakukan di daerah itu untuk mendukung kesehatan mental anak. Dia juga mengatakan bahwa pekerjaan itu cukup menantang karena para pekerja pun mengalami guncangan akibat perang, terutama jika kehilangan orang yang mereka cintai.

Trauma akibat menyaksikan konflik, pertumpahan darah, dan kehancuran sulit untuk dihapus dari ingatan generasi-generasi ini, dan selain bantuan medis, Gaza sangat membutuhkan dukungan psikologis bagi para penyintas konflik, ujarnya.

Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2023