Jakarta (ANTARA) - Siapa yang tidak tahu nasi bungkus? Setidaknya hampir semua warga negara Indonesia yang pernah makan, tahu akan nasi bungkus. Nasi bungkus telah sekian lama menjadi ciri khas dalam cara orang Indonesia berkuliner. Mulai dari nasi yang dibungkus dengan daun pisang hingga nasi yang dibungkus dengan kertas minyak. Singkatnya, nasi bungkus tak bisa dipisahkan dari cara orang Indonesia makan atau menikmati kuliner.
Jika ditelisik sedikit lebih jauh, nasi bungkus dapat dikatakan memiliki sifatnya yang universal. Mengapa demikian? Nasi bungkus merepresentasikan semua kuliner Indonesia yang dipasangkan dengan nasi. Artinya, nasi bungkus menjadi semacam etalase beragam jenis lauk khas Indonesia. Nasi bungkus bisa saja menjadi nasi ayam, nasi ikan, nasi rendang, nasi telur, nasi sayur, bisa juga nasi kucing yang khas dari Yogyakarta itu. Tak terbantahkan, semua itu namanya nasi bungkus.
Berbicara soal nasi bungkus, beberapa pertanyaan muncul pada publik, seperti ‘apa pentingnya nasi bungkus? Tidak adakah keunikan lain dari budaya kuliner Indonesia yang layak diperbincangkan? Apa yang bisa dibanggakan ke dunia luar dari nasi bungkus? Atau dalam hal ini, bagaimana bisa nasi bungkus memiliki tempat dalam diplomasi internasional, khususnya diplomasi perut atau dalam terminologi modern, ‘gastrodiplomasi’?
Seorang pakar kuliner kenamaan Indonesia yang telah membawa berbagai macam kuliner Indonesia ke dunia internasional, William Wongso, membawa topik tentang nasi bungkus sebagai instrumen gastrodiplomasi dalam pidato kebudayaan yang ia bawakan pada Hari Pahlawan 10 November sekaligus Hari Ulang Tahun ke-55 Taman Ismail Marzuki di Jakarta.
Di belakang panggung, sesaat sebelum pidato kebudayaan tersebut disampaikan, William menceritakan usaha ‘nasi bungkus’ yang ia buka di dua kota besar di Australia, yakni Sydney dan Melbourne. Menurutnya, mengelola usaha makanan yang autentik dari Indonesia di luar negeri cukup sulit, yang pertama karena ketersediaan koki terbatas dan juga pegawai yang hanya bekerja paruh waktu.
Karena itu, William menerapkan pola pelayanan mandiri di restorannya, di mana pelanggan mengambil makanannya sendiri. Singkatnya, kata William, restoran tersebut merupakan restoran ‘tanpa pelayanan’. Adapun nasi bungkus merupakan item makanan yang disediakan oleh William di restorannya. Pelanggan dapat memilih dua jenis sayur, dua jenis lauk dan dua jenis protein dalam satu bungkus nasi.
William tidak mengubah nama nasi bungkus ke dalam bahasa Inggris, karena ia ingin nama nasi bungkus tersebut menjadi identik dengan makanan Indonesia yang dijual di negara lain. Selain itu, dengan adanya sekitar 60 etnik migran yang ada di negara tersebut dengan kuliner khasnya masing-masing, ia ingin memunculkan nasi bungkus sebagai khas dari Indonesia. Nama nasi bungkus juga sudah termasuk dengan bumbu-bumbu yang ia impor langsung dari Indonesia.
Pertanyaannya kemudian, apakah William hanya menyediakan nasi bungkus untuk warga Indonesia yang ada di Negeri Kanguru tersebut? Ataukah ada tujuan yang lebih besar, yang lebih ideologis?
Nasi bungkus dan ekosistem kuliner Indonesia
Menilik signifikansi kuliner sebagai identitas sebuah negara serta perannya dalam dunia pariwisata, William menjual nasi bungkus di luar negeri bukan hanya untuk mencari keuntungan tetapi untuk sebuah tujuan yang lebih ideologis. Menurutnya, kuliner dalam negeri yang dikenal negara lain menjadi pintu masuk (entry point) untuk mewujudkan ekosistem kuliner di Indonesia, khususnya dalam konsep pariwisata.
Kuliner sebagai poin ketertarikan wisata, kata William perlu dibuatkan ekosistemnya sehingga kemudian bisa berkembang menjadi wisata kuliner yang terorganisir di semua daerah Indonesia. Hal tersebut juga mempertimbangkan masing-masing daerah di Indonesia memiliki keunikan kulinernya masing-masing. Menurutnya, konsep wisata yang hanya menawarkan rute perjalanan kota atau city tourism belum memperlihatkan semua potensi wisata yang bisa digali, dalam hal ini kuliner.
Menurutnya, harus ada juga semacam culinary tourism atau wisata gastronomi yang terstruktur dan punya ekosistemnya sendiri, lengkap dengan pusat informasinya. Jakarta, berikut Indonesia, kata William, belum memiliki hal tersebut. Ekosistem wisata yang ada di Indonesia kebanyakan lebih menonjolkan wisata berbasis tempat tanpa menyediakan rute kuliner masing-masing daerah di Indonesia yang khas.
Memperkenalkan nasi bungkus di luar negeri dengan nama, bumbu dan hal lain yang masih autentik adalah sebuah pemicu atau promosi kepada dunia internasional bahwa Indonesia punya kekayaan kuliner yang luar biasa. Pidato kebudayaan yang ia bawakan salah satunya untuk memicu kesadaran tersebut, bahwa betapa kekayaan kuliner Indonesia jika diorganisasi dengan baik, dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi dunia internasional melalui pariwisata. Itulah yang ia sebut gestrodiplomasi.
Berbicara soal Jakarta, kota tersebut merupakan melting pot atau titik temu dan meleburnya segala jenis budaya termasuk kuliner dari berbagai daerah di Indonesia. Jadi, posisi Jakarta bukan hanya sebagai pusat pemerintahan, melainkan juga sebagai pusat informasi mengenai kuliner Indonesia digaungkan sehingga kemudian dapat diikuti oleh daerah lain.
Ekosistem kuliner mengisyaratkan adanya keterhubungan, bahkan pada level yang lebih jauh. Ekosistem kuliner juga dapat menjadi ruang bagaimana budaya kuliner suatu daerah dapat memperkaya kuliner daerah lain, misalnya dengan pertukaran bumbu dan sebagainya.
Dewasa ini, dukungan informasi dan internet melalui media sosial menjadi sangat penting. Jadi pariwisata bukan hanya soal mengunjungi suatu lokasi dan kemudian lokasi yang lain, melainkan juga menikmati kuliner yang satu dan kemudian kuliner lain. Output-nya adalah rute wisata kuliner khas di seluruh Indonesia. Bukankah wisata itu tentang mata dan perut?
Banyaknya makanan luar yang masuk ke Indonesia mestinya menggugah kesadaran akan pentingnya kuliner Indonesia bersanding di dunia Internasional. Jika makanan-makanan dari negara lain dapat berseliweran di Indonesia, mengapa makanan kita, sebut saja nasi bungkus, tidak bisa dijajakan ke luar? Dalam konteks pariwisata, apa yang mesti dilakukan?
Pascagastrodiplomasi
Nasi bungkus sebagai instrumen diplomasi yang ditawarkan William bukan tanpa tindak lanjut. Menurutnya kinerja lintas sektor, baik antara pemerintah ataupun dengan pelaku kuliner perlu ditingkatkan lagi.
Jadi, diplomasi yang terus didorong di luar negeri menjadi semacam pemicu agar kuliner Indonesia dapat dikenal, namun ekosistem kuliner serta identifikasinya dalam kerangka pariwisata merupakan kerja yang mesti dilakukan bersama antara pemerintah, pelaku kuliner serta masyarakat umum.
Gastrodiplomasi nasi bungkus ke luar negeri mestinya memancing dunia internasional ke Indonesia. Jadi nasi bungkus menjadi semacam umpan agar semakin wisata kuliner Indonesia menjadi semakin segar dan kian bertumbuh oleh wisatawan yang datang.
Taman Ismail Marzuki sebagai salah satu pusat kesenian nasional melalui Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) mendukung ide-ide tersebut dalam pidato kebudayaan yang diadakan setiap 10 November. Tanggal tersebut merupakan hari lahir Taman Ismail Marzuki dan juga Hari Pahlawan Nasional.
Humas DKJ, Fransiskus Sena melihat William sebagai diplomat kuliner yang memperjuangkan masa depan kuliner Indonesia dengan memperkenalkannya ke dunia internasional. Upaya tersebut sebagai senjata diplomasi kebudayaan dan itu yang coba dihadirkan DKJ melalui pidato kebudayaan tahun ini.
Selain itu, dengan nasi bungkus yang autentik di negara luar, Sena menyebut hal tersebut menjadi semacam nostalgia rasa bagi warga negara Indonesia. Jadi, di samping menghadirkan suasana rumah kepada orang-orang Indonesia yang tinggal jauh dari negaranya, Sena melihat William berupaya untuk menampilkan rasa Indonesia kepada dunia internasional, khususnya melalui kuliner.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023