Yayak dan Sandra langsung berlari keluar saat pintu kandang besi dibuka, melompat ke atas pepohonan tanpa menghiraukan pisang dan nanas yang tampaknya ditaruh untuk menarik perhatian mereka.

Teman-teman kedua orangutan betina berusia tujuh dan 5,5 tahun yang Jumat lalu dilepasliarkan itu juga tampak menikmati kepulangan mereka ke habitat alami di kawasan hutan Desa Tanjung Hanau, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.

Beberapa orangutan melompat dari satu pohon ke pohon lain, bergelantungan pada dahan pepohonan, atau bermain air di sungai kecil yang mengalir di kawasan hutan sambil menikmati buah-buahan.

Bahkan ada satu orangutan jantan yang langsung menubruk orangutan betina dan berusaha mengawininya.

"Lihat, betapa senangnya mereka kembali ke alam bebas," kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan setelah melepasliarkan 10 orangutan di kawasan hutan Seruyan, tak jauh dari Camp Pelepasliaran Orangutan Seluang Mas.

Kesepuluh orangutan itu dikembalikan ke habitat alami setelah menjalani rehabilitasi, latihan adaptasi, dan pemeriksaan kesehatan menyeluruh di Orangutan Care Center and Quarantine (OCCQ) di Pasir Panjang, sekitar lima kilometer dari Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat.

Setelah perjalanan melintasi jalan raya dan jalanan berdebu yang tidak rata menembus berhektare-hektare perkebunan kelapa sawit selama sekitar tiga jam, mereka bisa keluar dari kandang besi dan kembali ke rimba yang akan menjadi rumah mereka.

Orangutan-orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) itu akan bergabung dengan 22 orangutan lain yang sejak 2011 dilepasliarkan di hutan Seruyan.

Menurut ketentuan Menteri Kehutanan, kawasan hutan Seruyan hanya bisa digunakan untuk melepasliarkan 40 orangutan.

Orangutan Foundation International (OFI) sampai sekarang sudah melepaskan 32 orangutan ke kawasan penyangga Taman Nasional Tanjung Puting itu.

Jadi hanya delapan orangutan lagi yang masih bisa dikembalikan ke alam liar di hutan seluas 40.000 hektare tersebut.

Padahal menurut Presiden OFI, Prof Birute Mary Galdikas, saat ini ada 330 orangutan yang menjalani rehabilitasi di OCCQ Pasir Panjang dan suatu saat harus dikembalikan ke habitat asal mereka.

Jumlah orangutan di OCCQ bisa terus bertambah bersama perjalanan waktu karena orangutan sitaan dan orangutan yang masih dalam pemeliharaan warga sewaktu-waktu bisa diserahkan ke fasilitas rehabilitasi.

Sementara kawasan hutan untuk mengembalikan orangutan-orangutan itu, menurut Menteri Kehutanan, terus berkurang dan terfragmentasi akibat aktivitas pembangunan perkebunan, pengusahaan hutan, pertanian, pertambangan dan lainnya.

Menurut data Kementerian Kehutanan tahun 2011, Kalimantan Tengah tercatat memiliki daratan kawasan hutan seluas sekitar 12,7 hektare dengan luas hutan lindung 1,3 juta hektare, hutan produksi terbatas dan tetap 7,1 juta hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi 2,5 juta hektare.

Provinsi itu juga memiliki 1,4 juta hektare kawasan konservasi yang meliputi tiga cagar alam, satu suaka margasatwa, dua taman wisata alam dan tiga taman nasional.

"Tapi tidak semua kawasan hutan itu bisa menjadi tempat pelepasliaran orangutan. Kalau dilihat hutan itu sudah terfragmentasi, sekelilingnya ada sawit, perkebunan atau pemukiman. Jika demikian, dalam jangka panjang keselamatan orangutan bisa terancam," kata perwakilan OFI Jakarta, Renie Djojoasmoro.

Taman-taman nasional seperti Tanjung Puting yang kini menjadi rumah bagi 6.000 lebih orangutan tidak lagi bisa menjadi alternatif karena menurut peraturan kehutanan taman nasional tidak boleh digunakan untuk melepasliarkan orangutan atau binatang terancam punah lain.

"Tanjung Puting tidak bisa dilepasi karena dalam kawasan taman nasional tidak boleh lepas binatang apapun. Tak boleh keluarkan, tak boleh ada yang masuk. Itu peraturan kehutanan, karena kita mau ikut sistem alam," kata Prof Birute.

Selain itu, Renie menambahkan, kalangan ahli khawatir kalau orangutan yang sudah menjalani rehabilitasi dilepas di dekat taman nasional mereka bisa menularkan penyakit ke populasi orangutan liar.

"Padahal sebenarnya itu tidak akan terjadi karena sebelum dilepas kesehatan mereka sudah diperiksa, yang berpenyakit tidak akan dilepaskan," katanya.

Dengan kondisi seperti itu, apa yang bisa direncanakan untuk melepasliarkan orangutan-orangutan yang masih dalam perawatan?

"Tidak ada rencana. Kita tunggu keputusan Menteri," kata Prof Birute, yang sejak tahun 1971 mendedikasikan hidupnya untuk meneliti orangutan dan menjaga populasi mereka di alam liar tetap terjaga.


Dalam penantian

Pagi hari, para asisten perawat orangutan di OCCQ Pasir Panjang sibuk melakukan kegiatan pengasuhan, memberikan susu pada bayi dan anak-anak orangutan, memandikan, lalu membawa mereka ke hutan terdekat untuk bermain.

Para pengasuh merawat anak-anak orangutan seperti anak-anak mereka sendiri. Mereka mengganti popok, memandikan, menyuapi makanan, dan bermain bersama mereka sepanjang hari.

"Yang kecil, kalau tidur ditemani. Kayak anak sendiri lah," kata Duwi (20), yang sudah menjadi pengasuh orangutan di OCCQ sejak tiga tahun lalu.

Dia sedang menggendong anak orangutan bernama Hans dan Douglas sementara orangutan bernama Purbo bergelayut di kaki kanannya.

"Kadang bisa sampai bawa empat (orangutan)," katanya sebelum mengajak anak-anak orangutan itu bermain di hutan dekat tempat rehabilitasi.

Duwi bersama sembilan perempuan dan dua lelaki lain sehari-hari mengasuh sekitar 70 bayi dan anak-anak orangutan di OCCQ Pasir Panjang.

Selain itu, masih ada asisten lain yang merawat dan memantau 250 orangutan remaja dan dewasa yang masih menjalani proses rehabilitasi dan latihan adaptasi dengan alam liar di fasilitas rehabilitasi itu.

Dua dokter hewan yang sejak sembilan tahun lalu bekerja di OCCQ, drh. Popowati dan drh. Prima Anggara Sigid, secara berkala memeriksa kesehatan orangutan-orangutan itu secara menyeluruh.

"Ambil sampel feses, urine, dan darah untuk cek kesehatan termasuk TB dan hepatitis untuk memastikan mereka sehat. Mereka sangat mirip manusia, semua penyakit orangutan bisa menular ke manusia dan sebaliknya. Kami tidak ingin itu sampai terjadi," kata Prima.

Orangutan-orangutan itu dirawat, diasuh, dan dilatih menyesuaikan diri lagi dengan habitat alami supaya bisa dikembalikan ke alam liar, rumah mereka yang sebenarnya.

Satu asa

Prof Birute berharap semua orangutan yang sudah menjalani rehabilitasi selanjutnya bisa kembali ke hutan dan menjadi bagian dari populasi orangutan liar lagi.

"Harapannya bisa seperti dulu, Menteri Kehutanan yang lama, Pak Djamaluddin, dia bikin suaka margasatwa Mandau untuk kita lepas orangutan. Kita pernah lepas 150 orangutan dari Care Center dan 10 orangutan liar di sana," katanya.

Satu dari tiga perempuan yang dipilih antropolog kenamaan Dr. Louis Leakey untuk mempelajari kera besar itu mengaku sudah menyampaikan alternatif solusi tersebut ke Kementerian Kehutanan.

Namun ketika ditanya tentang respon pemerintah, perempuan berkacamata asal Kanada itu hanya menyunggingkan seulas senyum sambil mengalihkan pandangan dan sedikit mengangkat bahu.

Saat pelepasliaran orangutan di hutan Seruyan, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan melontarkan wacana untuk menggunakan konsesi PT Rimba Raya Conservation di Kalimantan Tengah sebagai kawasan untuk mengembalikan orangutan ke habitat asli mereka.

"Masih ada konsesi Rimba Raya. Kalau Rimba Raya selesai, Dr Birute bisa lepas di sana," kata Zulkifli.

"Sekarang lagi finalisasi (perizinan). Luasnya 4.000 hektare lebih," katanya tentang penyiapan kawasan konservasi tersebut.

Prof Birute mengatakan, sejak lima tahun lalu OFI sudah mendapat tawaran dari pemegang konsesi Rimba Raya untuk melepasliarkan orangutan ke kawasan hutan mereka.

"Dari awal mereka sudah bilang akan bantu kita lepas orangutan di situ. Itu bisa dipakai karena hutan," kata Prof Birute, ahli primata dan antropologi yang sampai sekarang masih mengajar di Universitas Nasional Jakarta dan Simon Fraser University di Kanada.

Komitmen penyediaan kawasan pelepasliaran itu membawa satu asa bagi orangutan-orangutan yang sedang menjalani rehabilitasi untuk kembali ke habitat asli, bergabung dengan populasi kera besar di rimba Kalimantan.

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2013