Jakarta (ANTARA News) - Sehari setelah pengumuman kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi saya berkunjung ke Universitas Riau. Itu untuk memenuhi undangan Ketua BEM Unri, Zulfa Henri, yang gigihnya luar biasa. Sehari bisa kirim SMS ke saya seperti minum obat saja, tiga kali.

Waktu saya mendarat di Pekanbaru, Zul berteriak histeris. Kekhawatirannya saya tidak bisa datang sangat beralasan: Pekanbaru lagi dilanda asap tebal akibat pembakaran lahan untuk perkebunan sawit. Pagi itu jarak pandang tinggal kurang dari 2 km.

Tiba di kampus seluas 300 hektare itu, mahasiswa sudah memadati aula. Bahkan meluber sampai ke halaman.

Saat dialog tiba, mahasiswa berebut naik pentas. Lebih dari 30 mahasiswa yang maju ke depan. Masih lebih banyak lagi yang mengangkat tangan minta diberi kesempatan bicara. Moderator sampai kesulitan memilih siapa yang diprioritaskan.

Tentu pertanyaan terbanyak adalah soal BBM yang baru saja dinaikkan. Saya tidak basa-basi dalam hal ini. Tidak ada pemerintah yang senang menaikkan harga BBM. Pemerintahan siapa pun pernah dicaci maki karena menaikkan harga BBM. Semua presiden sudah merasakan menderita karena harus menaikkan harga BBM. Presiden yang lalu maupun presiden yang sekarang. Bahkan juga presiden yang akan datang.

Tapi memang ada satu suara yang harus didengarkan-baik: kebijakan energi. Meski kebijakan energi itu tidak akan membuat harga BBM tidak naik, tapi kebijakan energi yang baik akan memuaskan banyak orang. Inilah yang sekarang lagi menjadi pusat perhatian pemerintah.

Misalnya soal perizinan usaha eksplorasi minyak dan gas. Saya mencoba memanggil dua mahasiwa yang berani naik panggung untuk menjawab pertanyaan ini: berapakah izin yang diperlukan untuk usaha eksplorasi minyak? "Sepuluh izin," jawab seorang mahasiswa fakultas ekonomi. "Perkiraan saya 17 izin," kata yang satu lagi.

Di mata mahasiswa 17 atau 10 izin itu ternyata sudah dianggap terlalu banyak. Itulah pandangan generasi masa kini. Yang membayangkan hidup itu tidak boleh ruwet. Itulah gambaran generasi digital yang menganggap semua persoalan harus bisa diselesaikan dengan cepat dan mudah. Seperti mereka menggunakan gadget atau iPad.

Bayangkan generasi baru itu beranggapan 10 jenis izin pun sudah dirasa ruwet. Padahal untuk bisa melakukan produksi minyak dan gas itu izin yang harus didapat sebanyak ini: 280 izin!

Ngurus izinnya pun tidak hanya di satu atau dua kementerian, tapi di 15 kementerian. Dan meskipun ini usaha perminyakan, izin terbanyak justru diperlukan dari Kementerian Perhubungan: 28 buah!

Saya baru tahu semua itu ketika menagih Pertamina: kapan program Brigade 200K yang dibentuk tahun lalu itu mulai membawa hasil. Brigade 200K adalah satu tim khusus di Pertamina yang semua anggotanya generasi muda di perusahaan itu. Umur mereka paling tinggi 29 tahun. Tim khusus ini sengaja harus anak-anak muda agar bisa habis-habisan bekerja meningkatkan produksi minyak Pertamina.

Dalam waktu dua tahun Brigade 200K harus bisa menambah produksi minyak Pertamina sebanyak 200.000 barel per hari. Satu pekerjaan yang berat namun harus berhasil. Caranya: mendayagunakan sumur-sumur lama Pertamina yang sudah kurang produktif.

Sumur-sumur itu memang sudah tua tapi bukan tidak bisa ditingkatkan produksinya.

Teknologi yang dipergunakan di situ adalah teknologi lama, lama sekali. Teknologi zaman Belanda. Kini teknologi di bidang itu sudah luar biasa majunya. Modernisasi itulah yang akan dilakukan Brigade 200K.

Ternyata persoalannya tidak hanya di teknologi. Teknologinya sudah siap. Brigade 200K-nya juga sudah bergerak. Namun ada tembok-tembok tebal yang harus dijebol: peraturan dan perizinan!

Untungnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera mengetahui hal ini. Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Prof Dr Rudi Rubiandini memberikan paparan kepada Presiden mengenai ruwetnya perizinan itu. Presiden lantas membeberkannya di sidang kabinet. Lalu membentuk tim untuk melakukan, apa yang beliau sebut "revolusi" perizinan migas.

Kini setelah hiruk-pikuk kenaikan harga BBM berlalu, agenda yang lebih mendesak adalah revolusi perizinan migas. Tanpa revolusi itu, usaha migas akan seperti siput. Hari ini bergerak baru dua tahun kemudian bisa mulai action di lapangan.

Prof Rudi dan Dirut Pertamina Karen Agustiawan juga sudah bertemu untuk menyepakati banyak hal agar Pertamina bisa lebih lincah. Saya menyaksikan jalannya mencapai kesepakatan itu. Dengan harap-harap cemas.


*Menteri BUMN


(E007/Z002)

Oleh Dahlan Iskan
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013