Sawah, subak, dan sistem pertanian adalah landasan dan bagian integral dari kebudayaan Bali."
Denpasar (ANTARA News) - Alih fungsi lahan pertanian di Bali dalam lima tahun belakangan ini sangat mengkhawatirkan sehingga bisa mengancam ketahanan pangan masyarakatnya, kata Guru Besar Universitas Udayana, Prof Dr I Wayan Windia.
"Dalam lima tahun terakhir terjadi alih fungsi lahan sekitar 5.000 hektare, atau setiap tahunnya rata-rata 1.000 hektare," ujar Windia, yang juga Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana itu di Denpasar, Minggu.
Ia mengatakan, dalam lima tahun sebelumnya rata-rata sawah di Bali berkurang sekitar 750 hektare setiap tahunnya.
Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan penjualan sawah, dan dinilainya, semakin cepat dan semakin meluas karena jual beli sawah itu tidak hanya terjadi di daerah perkotaan, namun juga sampai kepedesaan.
Ia mengemukakan, terjadinya penjualan sawah dengan kecenderungan yang terus meningkat itu menunjukkan masyarakat setempat mulai kurang menghargai warisan leluhurnya, padahal sawah itu dibangun dengan berdarah-darah.
Mungkin, menurut dia, masyarakat belakangan ini telah berkembang menjadi orang yang serakah, pragmatis, dan kemudian idealisme kalah melawan arus pragmatisme-globalisasi.
Windia menjelaskan, globalisasi dunia ditandai dengan persaingan yang ketat, dan diwarnai dengan konsumerisme, materialisme, dan kapitalisme.
"Kalau kita kalah, maka kita akan terlindas, dan akibatnya seluruh sistem sosial masyarakat, termasuk kebudayaannya akan menjadi debu. Sawah, subak, dan sistem pertanian adalah landasan dan bagian integral dari kebudayaan Bali," ujarnya.
Kawasan Subak di Bali dibangun secara susah payah oleh para leluhur masyarakat Bali karena membuat sawah di kawasan Bali yang berlereng-lereng sangat sulit.
Bahkan, mereka harus membelanya mati-matian setelah sawahnya jadi. Ini pula yang membuat Subak diakui Oganisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) dihargai sebagai Warisan Kebudayaan Dunia.
Oleh sebab itu sawah-sawah yang ada harus tetap dapat dipertahankan, dilestarikan dan sedapat mungkin tidak dijual, demikian harapan Windia. (*)
Pewarta: I Ketut Sutika
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2013