Jakarta (ANTARA) - Peneliti Purnomo Yusgiantoro Center Akhmad Hanan mengatakan pemerintah perlu menyusun regulasi yang komprehensif dan terintegrasi untuk pengembangan bioenergi di Tanah Air.

"Karena saat ini saya juga melihat peraturan khusus untuk bioenergi ini belum ada sama sekali karena salah satu PR (pekerjaan rumah) bagi kita semua adalah bagaimana kebijakan fiskal dan non-fiskal ini bisa mendorong dari sisi produsen maupun konsumen untuk pengembangan bioenergi," kata Akhmad saat webinar bertajuk "Potensi dan Tantangan Pengembangan Bioenergi dalam Kontribusi pada Capaian Program Net Zero Emission 2060" dipantau pada Kamis.

Adapun, kata dia, beberapa kebijakan tersebut di antaranya pemberian insentif pajak, subsidi, dan dukungan teknis hingga pemasaran bioenergi.

"Beberapa negara telah menerapkan kebijakan fiskal dan non-fiskal yang mendukung pengembangan bioenergi seperti Amerika Serikat, Brasil, dan
juga beberapa negara di Uni Eropa," kata dia.

Menurutnya, beberapa negara itu telah menerapkan praktik pengelolaan biomassa yang berkelanjutan seperti penanaman pohon energi, pengelolaan limbah pertanian, dan penggunaan biomassa yang tidak bersaing dengan pangan.

"Ini juga hendaknya dari pemerintah juga memiliki pemetaan yang jelas agar tidak bersaing dan juga bisa dialokasikan untuk tanaman pangan sendiri, untuk tanaman energi sendiri," tuturnya.

Oleh karena itu, kata Akhmad, pemerintah dapat mendorong pengembangan teknologi bioenergi yang efisien dengan cara, yakni melakukan penelitian dan pengembangan, mendukung kerja sama antara pemerintah, swasta, dan akademisi serta memberikan insentif untuk pengembangan teknologi bioenergi yang efisien.

"Kalau insentif ini lebih ke sisi bagaimana kalau kami menciptakan pilot project kami diberikan insentif dari pemerintah dan kami juga mendapatkan penghargaan yang lebih manusiawi dan juga bisa meningkatkan keberlanjutan pengembangan bioenergi ke depan," ucap Akhmad.

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa dari segi kekuatan, Indonesia mempunyai potensi energi baru terbarukan (EBT) yang besar, salah satunya bioenergi yang merupakan sumber energi bersih yang tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK).

Selanjutnya, bioenergi merupakan sumber energi yang dapat diproduksi di dalam negeri sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada impor energi fosil.

Kendati demikian, ia juga mencatat bahwa ada beberapa kelemahan dalam pengembangan bioenergi di Indonesia, di antaranya bioenergi memiliki biaya produksi yang relatif tinggi, rata-rata antara 0,15 hingga 0,70 dolar AS per kilowatt hour (kWh) dibandingkan listrik dari batu bara antara 0,04 hingga 0,10 dolar AS per kWh.

Kemudian, pengembangan bioenergi juga membutuhkan ketersediaan biomassa yang cukup.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut Indonesia memiliki potensi besar, tersebar, dan beragam untuk mendukung ketahanan energi nasional dan pencapaian target bauran EBT.

Adapun, pemanfaatan EBT yang ditargetkan sebesar 23 persen pada 2025 sebagaimana di dalam kebijakan energi nasional.

Potensi EBT di Indonesia mencapai 3.687 gigawatt (GW) dari energi surya, hidro, bioenergi, bayu, panas bumi, dan laut. Saat ini, pemanfaatan EBT tersebut berada di angka 12.669 megawatt (MW).

Untuk bioenergi sendiri, potensinya mencapai 57 GW dan yang baru dimanfaatkan sebesar 3.118 MW.

Baca juga: Pertamina kembangkan bahan bakar berbasis bioenergI
Baca juga: Pengembangan tanaman bioenergi solusi penyediaan energi terbarukan
Baca juga: Pemerintah susun strategi pengembangan bioenergi

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2023