Jakarta (ANTARA) - Nama Gibran Rakabuming Raka ramai dibicarakan akhir-akhir ini. Ini tidak lepas dari polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan dengan proses pencalonannya sebagai calon wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto yang oleh beberapa kelompok dianggap “cacat hukum”.
Jargon-jargon tentang politik dinasti dan ancaman terhadap demokrasi pun mulai bermunculan secara masif, sistematis, dan atraktif; terkesan ada yang mengorkestrasi.
Meskipun secara terang benderang putusan MK terkait sudah final, akan tetapi upaya untuk mendelegitimasi sosok Gibran tetap terus dilakukan. Tujuannya tentu saja untuk mengeliminasi dukungan dari pikiran pemilih dengan menggunakan isu politik dinasti dan ancaman terhadap demokrasi, dengan harapan publik bisa secara sadar dan rasional menilai bahwa putusan MK tersebut adalah keputusan yang salah dan dapat mengancam demokrasi.
Pertanyaannya adalah: apakah upaya ini efektif dan ampuh?
Adalah Kumbakarna, saudara kandung Rahwana, sang raja Alengka dalam epos Ramayana. Diceritakan bahwa Kumbakarna, dalam posisinya sebagai "warga negara" Alengka sekaligus saudara kandung Rahwana, mengabaikan prinsip moral benar dan salah dalam memutuskan untuk membela Rahwana.
Kumbakarna memilih untuk melindungi saudara dan negaranya dari gempuran serangan Hanoman dan Rama, Raja Ayodya. Kumbakarna tak peduli perilaku bejat Rahwana yang menculik Sinta (istri Rama).
Bagi Kumbakarna, membela Rahwana dan Alengka adalah pilihan etis yang harus ditempuh demi menyelamatkan masa depan Alengka: hukum tertinggi adalah tentang keselamatan hidup. Membela kebenaran Rama untuk mengambil kembali Sinta sembari memerangi saudara kandung dan rakyat Alengka adalah pilihan yang salah secara etis.
Tidak ada kamus untuk membela kebenaran dengan cara mengorbankan kepentingan dan melukai perasaan kelompok kita sendiri. Jika membela kawan adalah kewajiban, maka membela saudara adalah keharusan.
Dari kisah Ramayana di atas bisa dipahami bahwa insting dan naluri pembelaan kita terhadap sesama anggota kelompok berdasarkan sentiment "identitas–komunitas" adalah nilai moral yang ditanamkan secara alamiah melalui prinsip evolusi.
Prinsip utama hukum evolusi adalah: memastikan keselamatan dan masa depan "klan dan spesies" kita. Membela masa depan keluarga, klan, dan kelompok itu adalah kepentingan utama evolusi.
Kampanye kebenaran etik yang disuarakan oleh Rama dan Hanoman tidak ampuh dalam mengajak Kumbakarna dan rakyat Alengka untuk memerangi Rahwana (yang telah melakukan perbuatan tercela, mencuri Sinta).
Kisah Ramayana ini juga memiliki kesamaan yang persis dengan yang terjadi dalam peperangan Troya: Paris (putra mahkota Troya) menculik Helena dari suaminya Menlaos (raja Sparta). Raja dan mayoritas rakyat Troya tetap membela Paris.
Pemilih waras
Menanggapi pertanyaan wartawan tentang politik dinasti dan ancamannya terhadap demokrasi, Gibran menjawab secara gamblang, menyerahkan semua kepada rakyat, biarkan rakyat yang menilai. Persis dengan Presiden Jokowi ketika menjawab pertanyaan wartawan tentang politik dinasti.
Presiden Jokowi menyatakan, "Yang memilih itu rakyat, yang menentukan itu rakyat, dan yang mencoblos itu rakyat, bukan kita, bukan elit, bukan partai". Yakin betul bahwa rakyat kebanyakaan tidak ambil pusing dengan isu-isu berat dan serius tentang politik dinasti dan ancamannya terhadap demokrasi.
Jawaban Gibran dan Presiden Jokowi di atas nyambung dengan studi yang dilakukan oleh Delli Carpini dan Keeter (1993,1996) bahwa isu politik itu adalah isu elit. Dengan kata lain, isu politik itu tidak menjadi isu rakyat. Dalam studinya, Delli Carpini dan Keeter (1993,1996) menyatakan bahwa kelompok elit menaruh perhatian yang sangat besar terhadap isu-isu politik, dikarenakan kelompok ini memiliki akses yang sangat banyak kepada informasi-informasi politik. Hanya kelompok elit yang peduli dan memiliki minat lebih kepada isu-isu politik.
Disayangkan, kelompok elit ini jumlahnya tidaklah banyak di masyarakat. Artinya, tidak memiliki dampak yang signifikan dan menentukan dalam pemberian suara di dalam pemilihan. Konsekuensinya, isu-isu politik seputar pemilihan, visi misi, dan program kerja, bukanlah hal yang utama dan menentukan.
Kenyataan ini didukung oleh studi David P. Houghton (2008) yang menyatakan bahwa dalam politik, fenomena terbanyak adalah berkaitan dengan hal-hal yang melibatkan emosi dan perasaan dibandingkan dimensi kognitif yang rasional. Politik lebih sering memancing emosi dan perasaan yang kuat, seperti suka/tidak suka, kebahagiaan/kesedihan, marah, rasa bersalah, rasa jijik, rasa syukur, ketakutan, kecemasan, ancaman, rasa gembira, dan balas dendam.
Secara tegas David P. Redlawsk (2008) menyakatan bahwa politik itu lebih banyak tentang perasaan dari pada tentang pemikiran.
Eksperimen neurosains
Lacoboni dkk (2007) melakukan eksperimen pada 10 orang laki-laki dan 10 orang perempuan "swing voter" dan mendapati bahwa ketika mereka diperlihatkan gambar-gambar, seperti tulisan "Republican", "Democrat", dan "Hillary Clinton", bagian-bagian otak yang bertanggung jawab sebagai pusat emosi dan terlibat ketika seseorang harus memilih salah satu di antara dua pilihan, seperti amygdala dan insula, menunjukan aktivitas yang signifikan, berkaitan dengan ekspektasi dan antipati.
Studi ini mengindikasikan bahwa "swing voter" atau massa mengambang, meskipun belum menyatakan pilihan mereka secara terbuka, akan tetapi secara emosional sudah memiliki kesukaan/ketidaksukaan pada kandidat tertentu.
Studi lainnya yang menunjukkan dominasi emosi/perasaan dalam sikap dan pilihan politik dilakukan oleh Drew Western dkk (2004). Studi ini melibatkan 15 partisan garis keras Partai Demokrat dan 15 partisan garis keras partai Republik di Amerika.
Dengan menggunakan fMRI untuk melihat aktivitas otaknya, para peserta eksperimen disajikan dengan berbagai macam pernyataan kontradiktif dari masing-masing kandidat mereka. Hipotesis dari penelitian ini menunjukan bahwa bagian-bagian otak tertentu yang berkaitan dengan kontradiksi dan afek negatif seketika "dihapus" ketika itu berkaitan dengan pernyataan kandidat yang mereka dukung, demikian juga sebaliknya.
Sebagus apa pun konsistensi dari kandidat yang tidak mereka dukung, area otak yang berkaitan dengan sentimen ketidaksukaan terlihat aktif. Studi ini menjadi basis neurologis berkaitan dengan party ID.
Politik dinasti
Berangkat dari kenyataan empiris yang telah diurainkan di atas, dapat dikatakan bahwa di dalam dunia mental dan alam pikiran rakyat mayoritas yang "awam" dan tidak elit itu, isu polemik MK dan politik dinasti tidak menjadi atensi yang perlu diseriusi. Isu itu tidak begitu ampuh untuk mengubah "emotional state of mind"-nya para Milenials dan Gen Z.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Presiden Jokowi dalam menjawab isu politik dinasti. "Ga usah baperan, ga usah drakor, toh yang memilih adalah rakyat, bukan elit, bukan partai".
Wallahualam bishawab…
*) Fikri Suadu adalah seorang dokter yang mendalami kajian neurosains. Menyelesaikan magister psikologinya di Universitas Indonesia, dan mendapatkan gelar Master of Arts dalam bidang Pemikiran dan Peradaban Islam di ISTAC IIUM Malaysia.
Copyright © ANTARA 2023