Dalam penelitian disebut sistematis pertama di dunia mengenai data prevalensi kekerasan terhadap perempuan dan dampaknya pada kesehatan, badan kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa itu mengatakan 30 persen perempuan di seluruh dunia menghadapi kekerasan seperti itu dari pasangannya.
"Statistik itu bagi saya sangat mengejutkan" kata Flavia Bustero, kepala divisi Keluarga, Perempuan dan Anak pada WHO.
"Juga mengejutkan bahwa fenomena ini terjadi di seluruh dunia," katanya kepada wartawan.
WHO menuding "tabu" mencegah korban maju guna mendapat bantuan kesehatan dan sistem keadilan, serta norma yang membuat baik pria maupun wanita memandang kekerasan seperti itu dapat diterima.
Temuan tersebut diperhitungkan dari angka yang diperoleh dari 81 negara yang hanya berisi data, tanpa disertai petunjuk mengenai orang-orangnya.
Skala kekerasan tertinggi terjadi di Asia, dengan data yang dikumpulkan dari Bangladesh, Timor Timur, India, Myanmar, Sri Lanka dan Thailand, yaitu mencapai 37,7 persen.
Urutan berikutnya adalah Timur Tengah dengan angka rata-rata 37 persen, diikuti negara-negara sub-sahara Afrika dengan angka 36,6 persen.
Secara rata-rata 23,2 persen perempuan mendapat pengaruh kekerasan rumahtangga di kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi termasuk di Amerika Utara, Uni Eropa, Korea Selatan, Jepang, Australia dan Selandia Baru.
"Data ini benar-benar menunjukkan korban yang besar dalam kesehatan wanita," kata Claudia Garcia-Moren, ahli WHO untuk masalah gender, hak reproduksi, kesehatan seksual dan remaja.
Menggarisbawahi dampak dari kekerasan seperti itu, WHO mengatakan secara global 38 persen perempuan korban pembunuhan pelakunya adalah pasangan mereka.
Dikatakan, kekerasan juga meninggalkan bekas yang tetap serta cedera tulang.
Perempuan yang mengalami kekerasan dua kali lebih banyak menderita tekanan batin dan bisa mengarah menjadi peminum alkohol dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami kekerasan.
Korban kekerasan juga lebih banyak tertular penyakit kelamin dengan tingkat sipilis hingga HIV.
Penelitian juga menunjukkan bahwa perempuan yang menjadi korban juga mengalami kehamilan tak diinginkan, pengguguran kandungan atau bayi yang kurang berat badannya -- anak-anak mereka bisa tumbuh menjadi penyiksa atau korban.
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2013