Jakarta (ANTARA News) - Suasana hubungan Australia-RI semakin membaik setelah Duta Besar Hamzah Thayeb kembali ke posnya di Canberra, namun sikap pihak-pihak tertentu di negara itu yang masih menjadikan Indonesia sebagai sasaran tembaknya atau "punching bag" (kantong pasir bagi petinju-red.) masalah politik domestik mereka sangat disesalkan, kata seorang juru bicara KBRI Canberra. "Indonesia menyesalkan, dalam perdebatan politik domestik Australia tentang upaya mengamandemen Undang-Undang Keimigrasiannya, Indonesia masih dijadikan `punching bag` oleh kalangan yang menentang UU tersebut, padahal (amandamen UU) itu adalah masalah domestik Australia dan bukan atas permintaan indonesia UU itu diamandemen," kata Dino Kusnadi dalam wawancara telepon dari Jakarta, Senin. KBRI Canberra, katanya, sudah menyuarakan harapan agar Indonesia jangan dijadikan "punching bag" bagi para penentang amandemen UU Keimigrasian itu di Australia. Indikasi dijadikannya Indonesia bak "sansak atau kantong pasir tinju" itu adalah selalu Indonesia dipersalahkan dan seolah-olah UU tersebut diamandemen karena Indonesia, padahal amandemen aadalah kepentingan dalam negeri Australia sendiri, katanya. Menurut Dino, berbagai perdebatan seputar amandemen UU Keimigrasian itu sama sekali tidak terkait dengan kepentingan Indonesia, melainkan kepentingan Australia sendiri, seperti masalah "time frame" dan kepentingan anak-anak (pencari suaka-red.). "Tak ada kepentingan Indonesia di situ," katanya. Kepentingan Indonesia adalah jangan masalah tersebut dijadikan pihak-pihak yang menentang amandemen UU Keimigrasian tersebut sebagai "staging point of protest against Indonesia" atau sasaran protes, katanya. Dubes Hamzah Thayeb pulang ke posnya di KBRI Canberra sejak pekan kedua Juni lalu setelah sekitar tiga bulan ditarik Jakarta akibat keputusan pemerintah Australia memberikan visa izin tinggal sementara kepada 42 warga Papua. Makin baik Dalam pandangan Dino, suasana hubungan kedua negara semakin membaik setelah Dubes Hamzah Thayeb kembali ke Canberra. Dubes RI untuk Australia dan Vanuatu itu bahkan ikut memuluskan pertemuan Perdana John Howard dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Batam, 26 Juni lalu. Di sela pertemuan itu, "copy" surat balasan Howard kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tertanggal 24 Juni 2006 diterima sejumlah wartawan, termasuk ANTARA. Dalam surat itu, PM Howard menegaskan bahwa negaranya tidak mendukung separatisme dan gerakan-gerakan yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. "Pemerintahan kami tidak ingin melihat Australia menjadi tempat bagi aktivitas seperti itu," tegasnya. Delegasi Komisi I DPR yang berangkat ke Australia dan bertemu dengan berbagai pejabat pemerintah dan anggota parlemen sebelum pertemuan Yudhoyono-Howard berlangsung di Batam pun sudah meminta Canberra agar lebih sensitif terhadap perasaan bangsa Indonesia dalam isu Papua dan berharap Australia menjadi negara tetangga yang baik, saling menghormati dan jujur. Hubungan kedua negara mengalami pasang naik dan pasang surut. Dua krisis yang pernah melanda hubungan kedua negara yang secara geografis bertetangga dekat namun secara kultural memiliki perbedaan yang besar itu adalah masalah Timor Timur 1999 dan pemberian visa menetap sementara kepada 42 pencari suaka dari Provinsi Papua, Indonesia, beberapa bulan lalu (2006). Terlepas dari dinamika hubungan kedua bangsa dan negara, Australia tercatat sebagai negara terbesar dalam memberikan bantuan dana kemanusiaan di saat sebagian wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kabupaten Nias, Sumatera Utara, dihantam gempa dan tsunami 2004 dan 2005. Bantuan yang sama pun diberikan Australia ketika Yogyakarta dan Jawa Tengah diguncang gempa 27 Mei lalu. Negara berpenduduk sekitar 20 juta jiwa itu memberikan bantuan lanjutan senilai Rp204 miliar untuk mendukung upaya rehabilitasi dan rekonstruksi berbagai wilayah yang porak poranda akibat bencana gempa bumi berkekuatan 5,9 pada Skala Richter di Yogyakarta dan Jawa Tengah 27 Mei lalu. Australia pun menyalurkan pinjaman dan hibah senilai 355 juta dolar Australia untuk membangun dan memperluas 2.000 sekolah di wilayah timur Indonesia dalam tiga tahun mendatang. (*)

Copyright © ANTARA 2006