Jakarta (ANTARA News) Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di pasar spot antarbank Jakarta, Senin pagi, merosot menembus level Rp9.200 per dolar AS menjadi Rp9.212/9.224 dibanding penutupan akhir pekan lalu Rp9.172/9.210 per dolar AS atau mengalami penurunan sebanyak 40 poin. "Perburuan dolar AS oleh pelaku lokal mengikuti jejak pelaku asing yang memburu dolar AS di pasar global, menyusul meningkatnya konflik di Timur Tengah, khususnya di Libanon," kata Analis Valas Bank Panin, Jasman Ginting, di Jakarta, Senin. Menurut dia, konflik di Timur Tengah mengakibatkan pelaku asing cenderung membeli dolar AS, sehingga mata uang asing itu menguat terhadap yen dan euro. Apalagi muncul isu bahwa bank sentral Jepang (BOJ) akan melakukan pengetatan lebih jauh setelah menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin, sehingga menekan yen makin terpuruk, katanya. Dolar AS terhadap yen menguat menjadi 116,38 dari sebelumnya 116,20, euro turun terhadap dolar AS menjadi 1,2633 setelah sebelumnya sempat mencapai level 1,2860 per dolar AS (pekan lalu) dan dolar stabil pada 1,2342 terhadap Swiss Francs dan dolar AS stabil pada posisi 1,8377 pound. Meningkatnya konflik di Timur Tengah itu, lanjutnya, mengakibatkan rupiah posisi sempat mencapai Rp9.230 per dolar AS, namun menjelang penutupan sesi pagi posisinya menjadi Rp9.212 per dolar AS. ` Kami memperkirakan rupiah akan masih tertekan pasar pada penutupan sore nanti, melihat kekhawatiran pelaku masih besar," katanya. Pembelian dolar AS, selain untuk memenuhi kebutuhan membayar hutang yang sudah jatuh tempo, juga terpicu oleh tingginya harga minyak dunia yang hampir mencapai 78 dolar AS per barel, tambahnya Deputi Gubernur Bank Indonesia, Aslim Tadjuddin, sementara itu mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah saat ini terjadi hanya akibat faktor eksternal, sehingga diperkirakan rupiah akan terus stabil di sekitar Rp9.200 per dolar AS. "Pelemahan hari ini disebabkan faktor eksternal yang terus kita perhatikan dan itu karena minyak mentah naik jadi 78 dolar AS," kata Aslim. Namun menurutnya, kenaikan harga minyak justru menguntungkan Indonesia karena menambah surplus neraca pembayaran di sisi minyak dan gas. "Neraca di minyak memang defisit tapi yang di gas surplus jauh lebih besar, jadi dibanding negara yang hanya impor minyak, dampaknya tidak lebih buruk seperti Korsel dan Jepang," katanya. Kondisi itu, lanjutnya membuat mata uang regional mengalami pelemahan. "Kita sendiri juga terpengaruh faktor ini saja, bukan faktor dalam negeri. Tetapi menurut hemat saya rupiah akan stabil di sekitar Rp9.200 per dolar AS," katanya. Aslim juga memperkirakan pelemahan nilai tukar karena naiknya harga minyak hanya berlangsung sebentar, dan akan segera menguat kembali. BI akan terus memantau perkembangan eksternal yang terjadi dan menyiapkan untuk melakukan intervensi jika diperlukan. "Intervensi selalu kita lakukan. Kita selalu ada intervensi jika ada kepanikan atau fluktuasi besar," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2006