Kembali ke diri masing-masing untuk mendewasakan diri secara cepat serta memahami betul apa maksud dan tujuan bermedia sosial.
Jakarta (ANTARA) - Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Rulli Nasrullah mengingatkan bahwa generasi muda perlu dewasa dalam menggunakan media sosial agar tidak mudah terpapar intoleransi dan informasi bohong atau hoaks.
Menurut Rulli, generasi muda seperti Gen Z cenderung labil secara psikis sehingga sebaran kebohongan maupun kebencian di dunia maya akan mudah memengaruhi. Oleh karena itu, pakar media sosial itu mendorong kaum muda untuk mempunyai kesadaran bermedia.
"Solusi terbaik adalah kembali ke diri masing-masing untuk mendewasakan diri secara cepat serta memahami betul apa maksud dan tujuan mereka dalam menggunakan media sosial," kata Rulli dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Rulli mengaku khawatir ketika hoaks, ujaran kebencian, dan intoleransi terhadap suatu kaum tertentu disebarkan dan dibungkus dengan situasi politik, terlebih menjelang Pemilu 2024. Hal itu bisa menjadi pembunuhan karakter figur atau tokoh tertentu.
Persoalannya, sambung Rulli, penerimaan berita bohong dan intoleransi sangat bergantung pada orang itu sendiri. Pada beberapa kasus, generasi muda menjadi lebih mudah meyakini berita bohong dan intoleransi karena konten negatif itu masuk melalui lingkaran pergaulan.
Terlebih, kata Rulli, berita bohong selalu memainkan isu-isu sensitif, seperti SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
Akademisi yang juga penulis buku itu menegaskan bahwa harus ada upaya mencegah orang atau kelompok tertentu yang telah terpapar konten negatif tersebut agar tidak melakukan tindakan melawan hukum.
Baca juga: Menkominfo ajak media perangi hoaks pemilu ciptakan ruang digital aman
Baca juga: Kerja Satgas Antihoaks makin intensif menjelang Pemilu 2024
"Kalau saya melihatnya, sejahat-jahatnya orang, kalau agamanya disinggung atau di-framing (dibingkai) secara negatif, pasti sisi emosionalnya akan muncul," ujarnya
Akibatnya, lanjut dia, mereka mudah menelan mentah-mentah isu sensitif yang dimainkan kelompok tertentu sehingga membuat banyak orang jadi sumbu pendek atau mudah marah dan seolah merasa perlu untuk memberikan reaksi secara cepat.
Untuk menangkal hal-hal negatif itu, Rulli menyebut studi tentang kiat agar bisa resisten terhadap berita bohong dan intoleransi sudah tersebar luas.
Masyarakat, lanjut dia, bisa proaktif mendapatkan materi tersebut, baik melalui bangku pendidikan formal maupun internet.
Ia menilai pemerintah selalu menyuarakan agar masyarakat berhati-hati dengan berita bohong maupun intoleransi. Di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, misalnya, telah dibentuk tim khusus untuk menyusun panduan literasi digital di sekolah yang ditujukan untuk guru, murid, serta orang tua.
Kementerian Informasi dan Komunikasi juga telah merancang etika bermedia sosial yang telah disosialisasikan baik secara daring (online) maupun luring (offline). Selain itu, lembaga nonpemerintah juga terlibat dalam langkah memberantas informasi bonhong dan intoleransi.
Bahkan, kata dia, di banyak media massa skala nasional, mereka sudah ikut pelatihan langsung dari Google tentang bagaimana cara memverifikasi informasi yang tersebar di internet.
"Jadi, fact checker (pemeriksa fakta) itu sudah dilakukan oleh banyak pihak. Tidak hanya pemerintah, tetapi nyatanya banyak lembaga swasta yang juga concern (peduli) dengan keabsahan informasi yang ada di ruang publik Indonesia," kata dia.
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2023