Warga juga mengadukan adanya upaya pihak perusahaan melakukan intimidasi dengan melibatkan oknum aparat dan preman."

Bandarlampung (ANTARA News) - Masyarakat adat dari lima marga Sai Batin di Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berkaitan dengan rencana pengusahaan panas bumi di kawasan Gunung Rajabasa yang dilakukan PT Supreme Energy.

Menurut Ketua Komnas-HAM, SN Laila, di Jakarta, Senin, masyarakat dari Lampung Selatan itu menyampaikan keberatan karena menurut Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan belum ada izin, mengingat kawasan yang akan diusahakan tersebut merupakan hutan lindung dan hutan adat.

Sejumlah persoalan yang diadukan warga ke Komnas-HAM antara lain, adanya rumah warga setempat yang mengalami retak.

Lubang-lubang yang digali di hutan tidak ditutup lagi oleh perusahaan, sehingga dikhawatirkan membahayakan warga yang bekerja di sana.

Masyarakat setempat juga menyatakan sedang menjalankan program dari Kementerian Kehutanan untuk penanaman bibit pohon yang akan dibayarkan pada masa tebang sembilan tahun yang akan datang.

"Warga juga mengadukan adanya upaya pihak perusahaan melakukan intimidasi dengan melibatkan oknum aparat dan preman," kata SN Laila pula.

Menurut para tokoh adat itu, wilayah tersebut juga merupakan cagar budaya.

Karena itu, masyarakat menolak penambangan dan pengusahaan panas bumi yang dilakukan oleh PT Supreme Energy.

Ketua Komnas-HAM itu menegeaskan, atas dasar pengaduan tersebut maka Komnas-HAM akan meminta konfirmasi dan klarifikasi terhadap pihak-pihak terkait terutama berkaitan dengan soal perizinan dan beroperasi penambangan panas bumi di lokasi hutan lindung.

Tokoh adat tersebut adalah Sai Batin Marga Rajabasa (Pangeran Penyimbang Agung), Sai Batin Marga Ratu (Pangeran Cahaya Marga), Sai Batin Marga Legundi (Pangeran Tihang Marga), Sai Batin Marga Dantaran (Pangeran Naga Bringsang), Sai Batin Marga Katibung (Pangeran Sesunan Sampurna Jaya).

Sejumlah tokoh adat lima marga itu bersama masyarakat setempat juga mendatangi kantor Kemenhut di Jakarta, untuk menolak rencana eksploitasi panas bumi di kawasan Gunung Rajabasa.

Mereka pada hari Senin sekitar pukul 04.30 WIB, telah tiba di sekretariat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional di Jakarta.

Manajer Penanganan Bencana Eksekutif Nasional Walhi Mukri Friatna yang dihubungi dari Bandarlampung membenarkan bahwa masyarakat adat Sai Batin dari lima marga di Lampung Selatan itu telah hadir di sekretariat Walhi di sana.

Kehadiran mereka dimpimpin lima tokoh penyimbang adat dalam rangka menyampaikan penolakan eksploitasi panas bumi di Desa Cugung, Kecamatan Rajabasa, Gunung Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan.

Menurut keterangan pimpinan adat asal Lampung Selatan itu, kehadiran mereka tidak dalam rangka mencari posisi tawar karena menolak pengusahaan panas bumi di sekitar tempat tinggal mereka.

Mereka menegaskan bahwa berada di Jakarta untuk secara murni memperjuangkan agar lingkungan di Gunung Rajabasa tidak dirusak.

Selama satu hari di Jakarta, mereka bertemu dengan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, dan bertemu dengan Komnas-HAM, serta mengadakan dialog di sekretariat Walhi Nasional bersama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Jaringan Tambang (Jatam).


Eksplorasi Panas Bumi

Sebelumnya diberitakan, PT Supreme Energy Rajabasa (SERB) segera memulai eksplorasi energi panas bumi atau geotermal (geothermal) di Gunung Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung yang pengeborannya ditargetkan mulai tahun 2013 ini.

Vice President Relations and Safety Health Environment PT SERB, Priyandaru Effendi di Jakarta saat dihubungi dari Kalianda, Minggu (19/5), mengatakan, pengeboran dilakukan pada triwulan empat tahun ini.

Saat ini, sedang dilakukan persiapan infrastruktur dan fasilitas penunjang mobilisasi peralatan pengeboran.

Menurut dia, perusahaan sudah mengerahkan tujuh alat berat untuk pembuatan jeti atau dermaga kapal pengangkut alat berat yang diperlukan selama eksplorasi dan lokasi persisnya berada di pesisir Dusun Pangkul Desa Sukaraja Kecamatan Rajabasa.

Saat alat berat tersebut didatangkan, dilakukan kegiatan konstruksi sipil di area penggunaan lain (APL) atau di luar kawasan hutan lindung, yaitu 85 persen kawasan yang sudah dibebaskan oleh perusahaan itu.

Berkaitan penolakan masyarakat setempat, kata dia, pihaknya tetap berpikir positif dan optimistis sebagian besar warga mendukung karena merupakan proyek nasional yang akan memanfaatkan energi terbarukan yang ramah lingkungan dalam menghasilkan listrik bagi kesejahteraan masyarakat.

"Masyarakat yang tidak setuju harus diberikan pengertian terus menerus mengenai manfaat listrik dari energi bersih. Oleh karena itu kami akan terus melaksanakan sosialisasi secara intensif ," kata Effendi.

Dia berharap, izin dari Kementerian Kehutanan segera dikeluarkan karena proyek itu termasuk bagian dari Program Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik 10.000 Megawatt (MW) tahap II berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2010.

Tujuan utama pemanfaatan panas bumi ini, lanjut dia, adalah membangun sumber listrik yang handal, bersih, berkelanjutan dan terjangkau, yang kemudian disalurkan melalui jaringan PLN.

Selain itu, mengurangi dampak perubahan iklim (climate change), menggantikan cadangan sumberdaya energi fosil yang semakin menipis dan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil yang tidak terbarukan seperti minyak bumi, gas alam dan batu bara serta menjamin pasokan listrik di wilayah Lampung.

"Proyek ini akan membantu tersediaanya pasokan listrik untuk Lampung Selatan dalam jangka waktu lama dan memenuhi sekitar 50 persen kebutuhan listrik di Provinsi Lampung," ujarnya.

Ia menambahkan, dalam penggunaan lahan di kawasan hutan lindung di Rajabasa, PT SERB memiliki kewajiban untuk mengganti dua kali dari luas lahan yang dipergunakan untuk dihutankan kembali. (B014/Z002)

Pewarta: Budisantoso Budiman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013