Kediri (ANTARA News) - Data mengenai jumlah peserta kursus di Pare diungkapkan A Zulkarnain dalam bukunya "Pare dan Catatan tak Usai". Lelaki asal Makassar yang juga alumni Pare itu menyebutkan bahwa di saat sepi, rata-rata 5.000 orang dan saat musim libur sekolah mencapai 15.000 orang.
Agustin, guru di lembaga kursus Daffodils, menggambarkan bahwa kalau musim libur sekolah, suasana di Jalan Anyelir tempatnya tinggal sangat ramai.
"Jadi kalau naik sepeda di Jalan Anyelir ini harus hati-hati agar tidak menabrak pejalan kaki karena ramai," kata perempuan asal Sumenep, Madura, itu.
Pantauan wartawan Antara, warung-warung di tempat itu menjual satu porsi nasi dan lauk, antara Rp3.000 hingga Rp5.000, belum termasuk minum. Untuk biaya kos antara Rp150 ribu hingga Rp180 ribu, belum termasuk jika di tempat kos, seseorang mengikuti program pedidikan tambahan.
Jika dikalkulasi minimal, maka kebutuhan per anak dalam sehari sekitar Rp26.000. Jumlah itu terdiri dari makan tiga kali total Rp12 ribu (sekali makan Rp4.000), kos Rp5.000 (Rp150 ribu sebulan), biaya kursus Rp6.000 (Rp180 ribu sebulan). Satu lagi yang sangat dibutuhkan oleh peserta kursus, yaitu sepeda "ontel" untuk mobilitas. Sewa sepeda "pancal" itu rata-rata sebulan Rp100 ribu atau sehari Rp3.000 lebih.
Jika Rp26 ribu dikalikan 5.000 orang, maka uang masuk ke Pare dalam sehari mencapai Rp130 juta atau Rp3,9 miliar dalam sebulan. Jika ramai hingga 15 ribu peserta kursus, maka dalam sehari mencapai Rp390 juta atau sebulan Rp11,2 miliar. Hitungan itu belum termasuk jika para peserta mencuci menggunakan jasa usaha laundry, pembelian suvenir, jasa becak, ojek, minuman, camilan, kendaraan travel.
Itu juga belum termasuk jika satu orang mengikuti lebih dari satu program kursus. Agar tidak banyak menganggur, --kecuali untuk program tiga bulan di BEC dan HEC--, satu peserta biasanya mengambil dua hingga tiga program. Bisa di satu lembaga kursus atau di lembaga lain.
Kampung Inggris kini bukan lagi kampung dalam pengertian tata kewilayahan di negeri ini. Kampung Inggris tidak lagi berada di satu kampung di Desa Pelem saat awal berdirinya BEC. Lembaga kursus sudah menyebar di Desa Pelem dan Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Pengamat ekonomi dari Universitas Brawijaya Prof Dr Ahmad Erani Yustika mengemukakan bahwa dari sisi penghuni, kedatangan peserta kursus ke Pare telah menambah jumlah penduduk di wilayah itu beberapa kali lipat. Padahal rata-rata penduduk satu desa di Jawa 6.000 orang. Pertambahan penghuni desa hingga tiga kali lipat itu tentu membawa dampak ekonomi yang besar.
Jika kalkulasi minimal uang yang masuk ke Pare itu sehari minimal Rp130 juta, maka jumlah itu sangat besar untuk ukuran desa. Keberadaan Kampung Inggris itu merupakan bukti tumbuhnya ekonomi yang berangkat dari potensi lokal.
"Di tempat lain kita bisa melakukan hal serupa dengan mengembangan potensi-potensi lokal yang ada," katanya.
Erani mengakui bahwa tidak semua daerah memiliki keberuntungan yang sama dengan di Pare. Fenomena perkembangan ekonomi di Pare tidak dimulai dari upaya pemerintah, melainkan tumbuh dari inisiatif warga sendiri setelah melihat banyaknya peminat kursus yang datang ke tempat itu.
Ia menganjurkan agar pemerintah di tingkat desa dan pemerintah kabupaten hendaknya membuat regulasi untuk mengantisipasi pertumbuhan yang tidak terarah dan kemudian mematikan pendapatan masyarakat lokal. Misalnya dengan semakin banyaknya pemilik modal dari luar Pare yang mendirikan kursus di tempat itu.
Selain itu, katanya, masih kuatnya etika dan moral di lingkungan masyarakat sekitar lembaga kursus di Pare merupakan kekuatan tersendiri. Karena masyarakat Pare masih memegang teguh etika dan norma, maka orang tua tidak keberatan untuk melepas anaknya belajar di ke tempat itu.
"Itu juga harus diatur agar para peserta kursus menyesuaikan dengan norma dan etika masyarakat di Pare. Jangan sampai sebaliknya, misalnya masyarakat yang datang justru mempengaruhi masyarakat di sana. Hal seperti ini harus diantisipasi untuk kepentingan jangka panjang agar tidak menimbulkan masalah," katanya.
Muhammad Kalend mengaku tidak pernah membayangkan kalau Pare akan menjadi seperti sekarang. "Dulu saya sekedar ingin numpang hidup saja. Sekarang, orang di sini ibaratnya tidur saja sudah pegang uang dari kos-kosan," kata pria asal Kalimantan itu.
Ia mengemukakan bahwa biaya murah menjadi salah satu daya tarik orang untuk datang belajar di Pare. Karena itu ia tidak mau seenaknya menaikkan tarif kursus di BEC. Ia sadar bahwa peserta yang datang ke Pare tidak semuanya anak orang mampu.
Ia juga tidak tergoda untuk meraup untung besar, misalnya dengan membuat rumah untuk tempat kos para siswanya. Ia lebih memilih berbagi pendapatan dengan penduduk sekitar agar memiliki penghasilan dari usaha tempat kos.
Mengenai perkembangan lembaga kursus yang sangat banyak, ia berpikir positif dan berharap semoga semuanya baik-baik saja. Tidak ada tanda bahwa ia merasa tersaingi oleh pendatang baru itu.
"Saya ikut senang karena meskipun didirikan orang luar, banyak alumni BEC yang dipakai jadi guru. Sementara yang saya lihat positif saja. Cuma orang yang mau belajar memang harus jeli. Pilih sesuai kebutuhan. Salah pilih, maka salah sendiri," kata lulusan Pesantren Modern Gontor, Ponorogo itu.
Ia sangat bahagia karena efek sosial dan ekonomi dari banyaknya lembaga kursus itu luar biasa bagi masyarakat. Masyarakat kampung bisa membuka usaha, seperti kos-kosan, warung, persewaan sepeda, warnet, laundry dan lainnya.
Ditanya soal campur tangan pemerintah terhadap kampung itu, Kalend mengatakan hampir tidak ada. "Syukurlah pemerintah tidak pernah ikut-ikut. Kalau ikut-ikut malah repot," katanya.
(T.M026/Z003)
Oleh Masuki M Astro
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013