"Pemerintah mampu melarang iklan susu formula bukan yang utama dibanding ASI, tetapi kenapa tidak bisa melakukan hal yang sama terhadap iklan rokok," katanya saat konferensi pers petisi antiiklan rokok di Jakarta, Senin.
Arist menilai hal tersebut patut dipertanyakan karena banyak penelitian sudah membuktikan iklan rokok berpengaruh dalam menginisiasi dan rokok merupakan zat adiktif yang berbahaya.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, sebanyak 62,5 persen perokok mulai merokok saat remaja sebelum usianya mencapai 19 tahun.
Sementara itu, survei Global Youth Tobacco menunjukkan peningkatan prevalensi perokok remaja usia 13-15 naik lebih dari 1,5 lipat selama kurun waktu tiga tahun, yakni dari 12,6 persen tahun 2006 menjadi 20,3 persen tahun 2009.
Dari sisi jenis kelamin, perokok laki-laki meningkat dari 24 persen menjadi 41 persen. Sementara perempuan, naik dari 2,3 persen menjadi 3,5 persen pada periode yang sama.
"Karena itu, Komnas Perlindungan Anak mendesak agar pemerintah melarang iklan, promosi dan sponsor rokok," katanya.
Selain itu, dia berpendapat nasib petani tembakau bukanlah alasan dalam memerangi bahaya rokok.
"Buktinya, produksi dan produktivitas petani tembakau segitu-segitu saja, sementara produksi dan konsumsi rokok terus meningkat," katanya.
Namun, Arist mengakui meski kampanye antiiklan rokok itu berat karena sudah merebak dan membudayanya merokok, dia mengimbau anak-anak muda yang tergabung dalam Smoke Free Agents untuk tetap memperjuangkan petisi tersebut.
"Kita semua di sini sudah dalam kepungan asap rokok, baik aktif maupun pasif. Untuk itu, mudah-mudahan ini bisa membantu masyarakat berhenti merokok," katanya.
Pewarta:
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2013