Peta jalan aksesi ILO C-188 diharapkan dapat menjadi roadmap bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan ratifikasi internasional
Banda Aceh (ANTARA) - Tim 9 meminta Pemerintah Indonesia segera meratifikasi International Labour Organization Convention (Konvensi ILO) Nomor 188 untuk mencegah perbudakan awak kapal atau memperkuat perlindungan ketenagakerjaan bidang perikanan.
"Konvensi ILO-188 memuat sejumlah ketentuan dan standar dalam upaya perlindungan pekerja di sektor industri perikanan agar tak terjebak dalam praktik kerja paksa, perbudakan modern, dan perdagangan manusia," kata Perwakilan Tim 9 Crisna Akbar, di Banda Aceh, Kamis.
Untuk diketahui, tim 9 sendiri dibentuk pada konsultasi publik pada Mei 2022 dan diberi mandat untuk menyusun rekomendasi peta jalan untuk meningkatkan perlindungan nelayan melalui ratifikasi ILO C-188 di Indonesia.
Tim 9 terdiri dari Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI), Kesatuan Pelaut dan Pekerja Perikanan Indonesia (KP3I), Indonesia Ship Manning Agents Association (ISMAA), Human Rights Working Group (HRWG).
Kemudian, Serikat Awak Kapal Perikanan Bersatu Indonesia Sulawesi Utara (SAKTI Sulut) Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Sumatera Environmental Initiative, dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).
Baca juga: Negara-negara ASEAN didorong untuk ratifikasi Konvensi ILO 188
Baca juga: HAM ASEAN ingin ABK migran dilindungi lebih baik lagi
Crisna menyampaikan, konvensi ILO-188 itu menjadi sangat penting dan mendesak, sebab selama ini masih banyak praktik perbudakan terhadap pekerja migran awak kapal asal Aceh yang bekerja pada kapal asing, baik pada awak kapal perikanan, maupun kapal niaga.
"Mekanisme perekrutan awak kapal ini tidak sesuai dengan aturan, mulai dari penerbitan berbagai izin untuk perusahaan perekrut, proses mengurus izin kerja, proses pembuatan kontrak kerja, sampai pengawasan ketika awak kapal berada di atas kapal asing," ujarnya.
Crisna menuturkan, sampai saat ini masih banyak awak kapal perikanan (AKP) asal Indonesia yang bekerja di kapal-kapal ikan berbendera asing dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Permasalahannya, adalah ego-sektoral serta tumpang tindih kebijakan dan kewenangan antar kementerian/lembaga.
"Kedua hal tersebut menyebabkan perbaikan tata kelola migrasi pekerja migran perikanan Indonesia berjalan lamban. Salah satu contoh, soal izin perekrutan AKP di Indonesia," katanya.
Baca juga: National Fishers Center-Ditjen Hubla mediasi masalah ABK migran
Baca juga: Kemenko Marves-ILO susun regulasi lindungi pelaut di Indonesia
Selain itu, lanjut Crisna, penegakan hukum dan upaya diplomasi bermartabat Indonesia terhadap negara-negara bendera kapal dan penempatan yang mempekerjakan AKP migran asal Indonesia juga cenderung masih lemah.
Menurut dia, salah satu penyebabnya karena Indonesia yang hingga saat ini belum juga meratifikasi konvensi ILO 188 tentang pekerjaan dalam penangkapan ikan atau yang sering disebut K-188.
"Peta jalan aksesi ILO C-188 diharapkan dapat menjadi roadmap bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan ratifikasi internasional," kata Crisna.
Dalam kesempatan ini, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dian Rubianty menyampaikan bahwa pengawasan perlu diperkuat agar potensi terjadi pelanggaran HAM pada pekerja migran dapat ditekan.
Dirinya berharap rapat koordinasi antar lembaga/badan pemerintah terkait pelayanan dan perlindungan pekerja migran dapat dilakukan secara berkala.
"Jika ada kasus yang berpotensi melanggar prosedur atau standar pelayanan agar melaporkan kepada Ombudsman untuk diadvokasi," demikian Dian Rubianty.
Baca juga: Menlu Retno minta Korea Selatan lindungi ABK Indonesia
Baca juga: Indonesia-Korsel tingkatkan perlindungan awak kapal perikanan
Baca juga: Menaker tegaskan komitmen pelindungan ABK perikanan Indonesia
Pewarta: Rahmat Fajri
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2023