Jakarta (ANTARA) - Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) meminta Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tidak mengikutsertakan Hakim Ketua MK Anwar Usman dalam sidang uji materi Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 yang dijadwalkan pada tanggal 8 November.

"Kami meminta kepada Yang Mulia agar tidak mengikutsertakan Anwar Usman dalam perkara tersebut agar tidak pernah berulang pelanggaran benturan kepentingan dalam lingkungan Mahkamah Konstitusi," kata perwakilan BEM Unisia sekaligus pelapor dugaan pelanggaran kode etik hakim MK, Tegar Afriansyah, di Gedung MK II, Jakarta, Kamis.

Baca juga: Anwar Usman sebut anggota MKMK netral dan bebas intervensi

Tegar mengatakan Anwar Usman diduga kuat melakukan pelanggaran berupa benturan kepentingan terhadap Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dengan demikian, pelapor menilai Anwar tidak sepatutnya diikutsertakan dalam sidang perkara tersebut.

Selanjutnya, Tegar berharap agar MKMK dapat memberikan sanksi seberat-beratnya terkait dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi, yakni dengan memberhentikan secara tidak hormat Anwar Usman dari jabatannya sebagai ketua MK.

"Kami meminta kepada Yang Mulia Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi untuk memberikan sanksi seberat-beratnya berupa pemberhentian tidak hormat kepada Ketua MK Anwar Usman," ujar Tegar.

Baca juga: Anwar Usman soal Mahkamah Keluarga: Benar, keluarga bangsa Indonesia

Gugatan dengan Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 diajukan oleh mahasiswa Unusia bernama Brahma Aryana yang memohon uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) mengenai batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Dalam perkara tersebut, pemohon memohon agar MK mengoreksi Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menyatakan syarat pencalonan capres dan cawapres diubah menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.

Pemohon memohon MK mengubah frasa "berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota" diubah menjadi "hanya berpengalaman sebagai kepala daerah di tingkat provinsi".

Baca juga: Jimly: Hakim MK berpotensi langgar kode etik terkait pembiaran

Pewarta: Rivan Awal Lingga
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2023