Jakarta (ANTARA) - Institut peneliti kebijakan Center for Strategic and International Studies (CSIS) mengajak masyarakat yang ikut dalam pesta demokrasi untuk selektif memilih pemimpin yang peduli terhadap isu kualitas udara terutama polusi yang timbul akibat emisi karbon.

Peneliti Politik dan Perubahan Sosial CSIS Edbert Gani Suryahudaya mengatakan meskipun kesadaran masyarakat mengenai polusi udara semakin meningkat, namun komitmen sektor politik terhadap isu itu masih belum memadai.

"Politisi maupun pemangku kebijakan kita masih sedikit sekali yang punya kesadaran terhadap isu polusi udara. Tinggal bagaimana mereka yang punya akses, mereka yang punya kekuasaan, mereka yang punya relative bargaining power," kata Gani dalam keterangan di Jakarta, Rabu.

"Kepada para politisi yang mau meng-capture isu ini layak untuk diperbincangkan,” imbuhnya.

Gani menilai isu polusi udara saat ini masih kurang mendapat perhatian dalam diskusi politik dibandingkan dengan isu-isu lain, seperti lapangan kerja dan kebutuhan dasar.

Namun, dia melihat potensi peningkatan kesadaran terutama kalangan masyarakat kelas menengah perkotaan seiring dengan munculnya dampak buruk polusi udara yang semakin nyata.

"Kalau kita berkaca pada pandangan umum, mungkin isu polusi udara ke depan akan semakin berkembang dari level masyarakat. Sedangkan dari level pemerintah memang bisa dibilang lebih minim lagi, karena memang politisi maupun pemangku kebijakan kita masih sedikit sekali yang punya kesadaran terhadap isu polusi udara,” papar Gani.

Jalan panjang masih menyelimuti dimensi politik polusi udara di Indonesia. Oleh karena itu, langkah pertama yang ditempuh adalah membuat masyarakat peduli tentang isu lingkungan.

Ketika isu lingkungan menjadi perhatian umum di antara warga, maka politisi tidak memiliki pilihan selain menghadapinya dengan serius.

Gani mengungkapkan bahwa bagian yang perlu diperhatikan tentang bagaimana memobilisasi dan mengubah pola pikir serta cara pandang masyarakat terhadap hak mereka terhadap udara bersih.

Menurutnya, ketika pandangan publik terhadap udara bersih sudah semakin umum bahwa itu adalah hak yang harus dipenuhi oleh seorang politisi maupun pemangku kebijakan publik.

"Pada akhirnya nanti politisi pasti harus mengadopsi itu sebagai sebuah kebijakan karena kalau tidak dia tidak akan mendapatkan dukungan,” kata Gani.

Dia menilai urgensi politisi maupun pemangku kebijakan terkait dengan polusi udara bisa terbilang masih minim. Namun, dia tidak menampik adanya potensi topik polusi udara berkembang lebih luas lagi.

Selanjutnya, Gani menegaskan pentingnya memengaruhi lanskap politik. Dia menilai Pemilu 2024 menjadi peluang terutama dengan bertambahnya jumlah pemilih muda dan pemilih pemula, sehingga menyarankan para tokoh yang memiliki pengaruh dan kekuatan tawar menjadikan isu kualitas udara sebagai topik sentral dalam diskusi politik.

“Paling penting adalah untuk orang-orang yang ingin mengadvokasi isu terkait polusi udara harus berpikir bagaimana kita memberikan insentif secara politik bagi para pemangku kebijakan," kata Gani.

"Jadi tidak bisa kita hanya sendiri saja berjuang untuk udara bersih, tapi mereka semua, karena yang menghirup udara bersih itu bukan cuma masyarakat saja, tapi elite, politisi, pengusaha, kita semua menghirup udara yang sama,” pungkasnya.

Baca juga: Ribuan guru Mojokerto ikrar netralitas Pemilu 2024

Baca juga: MUI sebut tidak perlu menjelekkan pilihan orang lain di Pemilu

Baca juga: Polri antisipasi efek global terhadap keamanan pemilu

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2023