"Kami dari asosiasi juga ikut melakukan pengawasan karena isu jual-beli izin merebak, apalagi peer to peer," kata Ketua Umum AFSI Ronald Yusuf Wijaya kepada wartawan pada acara media breafing menyambut Bulan Fintech Nasional (BFN) di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) Tower, Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan, pihaknya menemukan banyak praktik oknum yang mendaftar perusahaan fintech hanya sekedar mendapatkan izin untuk dijual kembali dengan keuntungan yang berlipat.
Oleh sebab itu, kata dia, pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga melibatkan AFSI melakukan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan terutama yang melakukan peralihan pemegang saham kendali.
"Ketika ada peralihan pemegang saham kendali kami tegur. Kenapa? apakah murni untuk menambah modal kerja untuk operasional atau terindikasi jual-beli izin," katanya.
Ronald menyampaikan, upaya mencegah praktik penjualan izin juga telah dilakukan pihak OJK melalui peraturan terkait modal minimum perusahaan pendaftar baru.
Ia menyebutkan, sebelumnya, untuk menjadi perusahaan fintech peer to peer lending atau peminjaman uang berizin harus memiliki modal awal minimum Rp2,5 miliar, namun sekarang pendaftar baru diwajibkan memiliki modal Rp25 miliar.
"Artinya industri ini sudah lebih aman," katanya.
Menurut dia, aturan permodalan tersebut cukup penting untuk memastikan agar perusahaan fintech bisa menjalankan roda bisnis ketika sudah mengantongi izin.
"Jangan sampai belum apa-apa perusahaan sudah habis nafas, yang ada jadinya jual-beli izin. Itu yang tidak kita inginkan" katanya.
Baca juga: OJK sebut keberlanjutan industri fintech perlu ujian panjang
Baca juga: OJK: Fintech berperan strategis jaga perekonomian pada tahun pemilu
Baca juga: OJK susun peta jalan industri fintech P2P lending yang sehat
Pewarta: Aloysius Lewokeda
Editor: Citro Atmoko
Copyright © ANTARA 2023