Karena kalau sudah ada di formularium, berarti standarnya sudah dianalisis dan dievaluasi sehingga dapat digunakan di layanan kesehatan
Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Lucia Rizka Andalusia menyatakan bahwa Kemenkes RI memberi perhatian penuh pengembangan obat herbal di tanah air.
Baca juga: Dokter: Obat-obatan herbal bukan solusi atasi serangan jantung
Ia menjelaskan, Indonesia juga telah memiliki formularium fitofarmaka (obat bahan alam yang teruji klinis), yang bertujuan untuk memberi akses kepada fasilitas pelayanan kesehatan agar dapat membeli obat fitofarmaka yang telah ditetapkan pada formularium tersebut.
"Karena kalau sudah ada di formularium, berarti standarnya sudah dianalisis dan dievaluasi sehingga dapat digunakan di layanan kesehatan," ucap Lucia.
Ia memaparkan, obat herbal lebih pas digunakan pada ranah promotif dan preventif (pencegahan), yang telah sesuai dengan tujuan UU Nomor 17 Tahun 2023 untuk lebih mengarahkan sistem kesehatan ke ranah tersebut.
"Obat herbal ini tidak harus masuk ke dalam ranah pengobatan kuratif, yang paling penting adalah promotif dan preventif, untuk wellbeing, kebugaran, pencegahan penyakit, juga pelengkap untuk mendampingi pengobatan konvensional," ujar dia.
Kemenkes, lanjut dia, juga telah memiliki Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) yang ada di Tawangmangu, Jawa Tengah. Balai tersebut secara konsisten melakukan penelitian dan budidaya obat herbal atau yang dikenal sebagai saintifikasi jamu.
Namun, menurut dia, hingga kini pengembangan obat herbal masih menemui berbagai tantangan, salah satunya terdapat celah antara peneliti dengan dokter sebagai pengguna.
Baca juga: Peneliti BRIN ungkap tanaman paling populer untuk obat kencing manis
Ia juga menegaskan, Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas kedua di dunia, sehingga peluang ini mesti dikembangkan agar perkembangan obat herbal bisa bersaing dengan negara-negara maju seperti China, India, atau Korea.
"Masa' iya sih, kita sebagai the second highest biodiversity untuk kekayaan alam ini tidak bisa kita eksplor potensinya? Sementara kalau di India, begitu datang, orang sudah menyambut kita dengan minuman herbal, di China, serta Korea dengan ginsengnya, jadi Indonesia juga harus punya," tuturnya.
Ia menegaskan, untuk membangun standarisasi obat herbal, Kemenkes fokus menggunakan teknik kromatografi (pemisahan senyawa organik) lapis tipis versi kinerja tingkat tinggi atau high performance thin layer chromatography (HPTLC), karena metode tersebut terbukti simpel, cepat, dengan tingkat validasi cukup baik dan biaya yang murah.
Ia sepakat dengan Lucia bahwa pasar obat herbal memang lebih banyak di promotif dan preventif, bukan kuratif.
Baca juga: Biodiversitas Indonesia potensial untuk pengembangan obat herbal
Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Sambas
Copyright © ANTARA 2023