JAKARTA (ANTARA) - Masa muda umumnya menjadi masa paling ekspresif yang membuat seseorang melakukan berbagai hal demi aktualisasi dan eksistensi diri, juga agar dapat diterima dalam pergaulan. Bila salah memilih lingkaran pergaulan, kalangan muda bisa terseret dalam gaya hidup berbiaya mahal yang padahal tidak sesuai dengan kemampuan finansialnya. Dengan literasi keuangan yang baik, kita akan mampu menjaga kesehatan isi dompet tanpa harus menarik diri dari pergaulan, bahkan menjadi penyendiri atau ansos (antisosial).
Karena hidup hanya sekali maka harus dinikmati, begitu konsep gaya hidup yang tengah dianut generasi muda. Konsep yang dikenal dengan istilah YOLO (you only live once) itu mendorong para penganutnya menikmati hidup sebebas mungkin. Menjadi berbahaya ketika konsep "kamu hanya hidup sekali (YOLO) diterapkan tanpa dibarengi literasi keuangan yang mumpuni. Karena survei literasi keuangan yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2022 mencatat tingkat literasi keuangan generasi muda baru sebesar 43,28 persen, angka itu lebih rendah dari tingkat literasi secara nasional 49,68 persen.
Pergaulan mendorong seseorang untuk menyesuaikan dengan gaya hidup teman-temannya, meski tak jarang harus memaksakan diri, terlebih bila bergaul di lingkungan para penganut YOLO. Biaya yang kerap dikeluarkan untuk mempertahankan sebuah pergaulan biasanya meliputi: aktivitas nongkrong di kafe; membeli pengalaman (nonton konser, bioskop, gelaran pertunjukan, jalan-jalan, berlibur); belanja (pakaian, perhiasan, perlengkapan dandan); ke salon kecantikan hingga membeli mobil dengan skema cicilan.
Anggaran yang dikeluarkan bukan atas pertimbangan kebutuhan prioritas, melainkan keinginan demi tampak keren dan diakui dalam lingkaran pergaulan. Nyatanya, biaya untuk tampil tampak keren di kegemerlapan kehidupan kota besar tidaklah murah untuk mereka yang masih berpenghasilan setara UMR.
Kemudahan akses utang dibarengi dengan rendahnya tingkat literasi keuangan, menjadi kombinasi yang berpotensi menjerumuskan kaum muda dalam kehidupan penuh gaya namun dibiayai dengan utang. Akses utang dengan gampang diperoleh di antaranya karena pengajuan kartu kredit dapat dilakukan tanpa syarat ketat, banyaknya layanan pinjaman daring, juga maraknya tawaran metode pembayaran ‘beli kini bayar nanti’ (paylater). Sebuah jebakan utang yang menawan. Sehingga tanpa kepemilikan uang pun, barang-barang mewah dengan mudah bisa dibeli.
Pertengahan September lalu, Otoritas Jasa Keuangan yang mendapati data bahwa 76 persen milenial memiliki utang, memperingatkan agar para kreditur muda itu memastikan kemampuan keuangannya dapat melunasi utang-utang tersebut.
Pada bagian lain, sebuah survei baru-baru ini mengungkap sebanyak 40 persen milenial berutang bukan atas alasan keterdesakan, melainkan untuk kebutuhan gaya hidup dan hubungan sosial (pergaulan).
Gaul tanpa tekor
Tetap aktif bergaul tanpa terancam tekor, sangat bisa. Itu hanya perlu siasat, bagaimana kita tidak dikendalikan teman dan mampu mengendalikan keadaan. Caranya, ikuti sejumlah tips berikut:
- Pilih teman. Pilihlah lingkaran pertemanan yang sesuai dengan gaya hidup dan kelas sosial kita. Sehingga tidak perlu memaksakan diri untuk menyesuaikan, karena sejak awal sudah memilih teman yang sesuai. Dengan anggota yang rata-rata memiliki kemampuan keuangan relatif sama, maka tidak ada yang menjadi korban karena harus menutupi kekurangannya hanya untuk bisa tetap bersama teman-temannya.
- Inisiatif. Bila teman-teman mengajak nongkrong ke tempat-tempat yang menurut isi kantongmu lumayan mahal, tidak harus diikuti begitu saja. Berinisiatiflah untuk memberi rekomendasi tempat lain yang tak kalah asyik tapi tidak membahayakan kesehatan dompetmu.
- Sesekali. Nongkrong, makan enak, dan bersenang-senang tidak harus setiap minggu atau di ujung pekan. Buatlah kesepakatan bahwa acara berhura-hura hanya dilakukan ketika ada capaian yang perlu dirayakan, bukan setiap waktu. Jadikan itu sebagai hadiah untuk sebuah prestasi anggota geng, baik prestasi sekolah/kuliah atau pekerjaan. Hindari kebiasaan asal nongkrong tanpa makna.
- Jujur. Biasakan tampil apa adanya dan bersikap terbuka kepada teman tanpa banyak hal yang ditutupi termasuk kondisi keuangan. Teman sejati adalah mereka yang bisa menerima kita apa adanya, sehingga tidak perlu sungkan sesekali menolak ajakan jalan bila memang tak tersedia anggaran untuk itu. Kebiasaan jujur dan tidak jaim akan membuatmu juga bisa diterima teman dengan apa adanya.
- Alihkan. Jika aktivitas kelompok pergaulanmu cenderung konsumtif, usulkan dan alihkanlah kepada hal-hal yang lebih produktif dan membawa manfaat. Semisal, kebiasaan nongkrong di kafe dan jalan-jalan ke pusat perbelanjaan dialihkan ke kegiatan sosial atau peduli lingkungan. Ajak anggota gengmu untuk gemar berderma ke yayasan yatim piatu, terlibat dalam kegiatan bersih-bersih sungai, atau menginisiasi penyelenggaraan panggung hiburan untuk tujuan amal, dan lain sebagainya.
Ternyata menciptakan pergaulan yang seru tidak harus dengan buang-buang uang, malah kita bisa memelopori suatu kegiatan amal yang bermanfaat bagi orang banyak.
Jadi pelopor
Kebanyakan dari mereka yang menjadi korban pergaulan adalah orang-orang bermental pengekor, yang hanya mengikuti arus di lingkungan sosialnya. Juga orang-orang yang tinggi jaim rendah penghasilan, sehingga pergaulan membuatnya tekor. Maka jangan pilih lingkaran pergaulan yang membuatmu terlalu mendongak ke atas alias ketinggian, lantas membuatmu minder dan terpaksa menjadi pengikut belaka.
Buatlah kelompok pergaulan dengan keanggotaan yang setara, tidak ada yang terlalu kaya sementara anggota lain tergolong miskin hingga menimbulkan adanya kesenjangan. Kecuali jika kelompok itu terbentuk secara alamiah karena kesamaan tujuan mulia, sehingga tidak ada anggota yang merasa terpaksa, terintimidasi, atau diperlakukan sebagai “pembantu umum”.
Prinsip kesetaraan dan keterbukaan harus ada dalam kelompok pergaulan, agar perjalanan pertemanan terbangun sehat. Jika ada yang terpaksa dan dikorbankan, maka evaluasi keikutsertaanmu dalam kelompok pergaulan itu.
Bagaimanapun, pergaulan merupakan salah satu kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial. Menghindar dari pergaulan akan membuat seseorang merasa terasing dan terisolasi yang berpotensi menumbuhkan penyakit depresi. Karenanya, tetaplah bergaul namun jangan menjadi korban di dalamnya.
Bila perlu, jadilah pelopor dalam kelompok pergaulan. Hal itu memungkinkan kita membuat gerakan kebaikan, mengubah aktivitas berkumpul yang umumnya hanya nongkrong-nongkrong kosong menjadi kegiatan sosial penuh makna.
Untuk mengubah kebiasaan nongkrong menjadi kegiatan amal, barangkali akan mengeluarkan anggaran lebih besar tetapi itu bukan pengeluaran yang sia-sia seperti ketika digunakan untuk sekadar nongkrong. Ada nilai ibadah dan jejak kebajikan yang ditorehkan di sana, hal itu akan membuat kalian bukan “tampak keren” melainkan memang keren sekali.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023