Tanjungpinang (ANTARA) - Dalam kurun waktu sekitar dua bulan terakhir, harga beras, khususnya beras premium, di Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) mengalami kenaikan cukup signifikan.
Sebagai contoh, harga beras merek Padang Raya yang dijual di salah satu pasar tradisional Bintan Center, Kilometer 9, naik dari yang biasanya Rp12 ribu per kilogram, menjadi Rp14 ribu per kilogram.
Kenaikan harga beras tersebut dipicu penurunan produksi padi di daerah sentra penghasil, seperti Pulau Jawa, yang dipengaruhi kemarau panjang dampak el nino serta perubahan cuaca. Sementara sejumlah negara juga memilih stop ekspor beras, seperti India, Thailand, dan Vietnam.
Beberapa faktor tersebut membuat kenaikan harga beras tidak bisa dielakkan. Terlebih Tanjungpinang yang bukan sentra penghasil beras, sehingga sangat bergantung dengan distribusi beras dari daerah lain. Maka tak heran kalau harga beras di daerah ini juga rentan naik dipicu kondisi produksi dari daerah penghasilnya.
Kendati begitu, Pemerintah Kota (Pemkot) Tanjungpinang terus berikhtiar mengantisipasi kenaikan harga beras agar jangan sampai menggerus daya beli warga hingga mengakibatkan inflasi.
Upaya yang telah dilakukan untuk jangka pendek adalah memastikan pasokan beras di gudang Bulog maupun distributor tersedia, sehingga pemerintah daerah tinggal fokus menjaga kestabilan harganya.
Dari hasil pengecekan Satgas Pangan, stok beras di Tanjungpinang saat ini mencapai 2.700 ton, dan dipastikan cukup sampai akhir tahun 2023, dengan estimasi kebutuhan per bulan sekitar 300 ton
Selanjutnya, Pemerintah Pusat melalui Bulog juga menyalurkan bantuan beras Stabilisasi Pasar dan Harga Pangan (SPHP) kepada 72 ribu keluarga penerima manfaat (KPM) di Tanjungpinang sesuai Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Masing-masing KPM menerima 10 kilogram selama tiga bulan berturut-turut, yaitu September, Oktober, dan November 2023.
Penyaluran bantuan beras cadangan pemerintah ini bertujuan menjaga stabilitas harga beras serta daya beli masyarakat. Di sisi lain, Pemkot Tanjungpinang bekerja sama dengan Bulog dan Badan Pangan Nasional (Bapanas), rutin menggelar operasi pasar murah di di empat kecamatan setempat.
Tujuannya, untuk membantu masyarakat mendapatkan kebutuhan pokok dengan harga terjangkau, sekaligus menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan.
Pada operasi pasar murah, pemerintah lebih fokus menjual beras medium dan premium, seiring terjadinya kenaikan harga beras di pasaran. Untuk beras medium Bulog dijual seharga Rp53 ribu per lima kilogram. Sedangkan beras premium seharga Rp65 ribu per kilogram.
Melalui gerakan pangan murah, pemerintah memberikan alternatif warga membeli beras medium yang dari segi kualitas juga tak kalah bagus dibanding beras premium.
Inflasi stabil
Berdasarkan data BPS, angka inflasi di Tanjungpinang relatif stabil di tengah terjadinya kenaikan harga bahan pokok masyarakat, seperti beras.
Tingkat inflasi pada periode bulan September 2023 turun menjadi 1,53 persen, dibanding kondisi Agustus 2023 yang sebesar 2,04 persen.
Kondisi itu menempatkan Tanjungpinang sebagai daerah dengan inflasi terendah keempat se-Pulau Sumatera. Hal ini menandakan pemkot bersama pemangku kepentingan terkait masih bisa mengendalikan harga bahan pokok.
Di sisi lain, masyarakat pun diimbau menggalakkan program menyelamatkan pangan dengan lebih berhemat atau tidak mubazir dalam hal mengkonsumsi beras yang sudah diolah menjadi nasi.
Masyarakat diimbau pula tidak melakukan pembelian beras berlebihan, karena Pemkot bersama Perum Bulog Tanjungpinang memastikan bahwa stok beras masih mencukupi hingga awal tahun 2024.
Pemerintah melalui satgas pangan juga telah mengantisipasi tingginya permintaan beras yang diprediksi bakal meningkat menjelang Natal dan Tahun Baru 2024, sama halnya dengan hari-hari besar keagamaan lainnya, seperti Hari Raya Idul Fitri. Peningkatan permintaan itu tentu berpotensi memicu kenaikan harga beras di pasaran.
Ketahanan pangan
Seperti halnya beras, komoditas pokok lainnya di Tanjungpinang, seperti cabai juga sangat tergantung dari pasokan daerah lain, mulai dari Medan hingga Pulau Jawa. Sebagaimana beras, cabai juga menjadi penyumbang inflasi di daerah tersebut.
Laporan dari Dinas Pertanian, Pangan dan Perikanan (DP3) Tanjungpinang, menyebutkan bahwa hasil pertanian cabai di "Kota Gurindam" itu hanya mampu memenuhi sekitar satu persen untuk kebutuhan pangan lokal. Selebihnya atau sekitar 99 persen dipasok dari luar daerah.
Hal itu salah satunya disebabkan Tanjungpinang sejak dulu memang tidak dirancang sebagai daerah sentra penghasil pertanian, khususnya cabai.
Kondisi ini dapat dilihat dari penyusunan regulasi tata ruang dan tata wilayah (RTRW) Pemkot Tanjungpinang yang tidak ada mengatur alokasi lahan untuk pertanian, sehingga pengembangan sektor pertanian di Tanjungpinang ikut terhambat.
Padahal potensi untuk pertanian di Ibu Kota Provinsi Kepri itu cukup besar, yang ditandai dengan adanya produksi hasil cabai dari sejumlah kelompok wanita tani atau KWT binaan DP3 Tanjungpinang.
Mereka tersebar di Pulau Dompak hingga Kelurahan Kampung Bugis. Masing-masing KWT berjumlah sekitar 20-30 orang dan sudah mampu memproduksi cabai meskipun dalam jumlah yang relatif sedikit.
Sebagian besar lahan yang digunakan para petani lokal untuk bercocok tanam cabai itu berstatus pinjam pakai, bukan lahan pribadi melainkan milik pihak ketiga.
Tapi ada juga KWT yang memanfaatkan pekarangan rumah sendiri untuk menanam aneka jenis tanaman hortikultura, seperti cabai rawit, bawang merah, sawi, bayam, kol, kacang panjang, tomat serta pare. Bibit hingga pupuk tanaman disediakan DP3 Tanjungpinang sesuai aturan.
Pemanfaatan pekarangan rumah sebagai sarana bercocok tanam, minimal dapat memenuhi kebutuhan bahan pangan keluarga. Selain itu, lahan yang dipakai milik sendiri tanpa rasa khawatir diganggu orang lain.
Gerakan ini mulai digalakkan ke tiap-tiap lingkungan RT agar membentuk KWT guna membangun ketahanan pangan daerah yang dimulai dari keluarga.
Sementara itu, pemerintah daerah setempat terus berupaya menjaga ketahanan pangan di Tanjungpinang dengan meningkatkan kerja sama antardaerah (KAD) sekaligus menjamin kelancaran distribusi pangan dari daerah penghasil melalui jalur laut hingga udara.
Ketika distribusi lancar, stabilitas pasokan dan harga bahan pangan tentu dapat dikawal dengan baik. Dampaknya, inflasi bisa ditekan dan daya beli masyarakat tetap terjaga.
Dengan dukungan semua pemangku kepentingan, tidak menutup kemungkinan Tanjungpinang dalam masa mendatang bisa swasembada pangan, sehingga tidak sepenuhnya bergantung dengan daerah lain. Dengan demikian, tingkat inflasi yang disumbang dari komoditas pangan, dapat terkendali.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023