sebuah peta jalan setelah perang akan membantu sekutu-sekutu Israel itu bertindak efektif.

Jakarta (ANTARA) - Di bawah perlindungan puluhan helikopter dan drone, tank-tank tempur dan pengangkut personel lapis baja (APC) Israel merangsek masuk Gaza utara pada Minggu 29 Oktober, dan menyerang sejumlah posisi di Kota Gaza bagian utara.

Operasi darat angkatan bersenjata Israel (IDF) di Jalur Gaza sudah dimulai. Sejumlah kalangan di Israel memperkirakan operasi darat kali ini bakal berbeda dengan serangan darat Israel ke Gaza sebelumnya.

Mengutip laporan Reuters, mantan Kepala Dinas Intelijen Militer Israel, Amos Yadlin, memperkirakan invasi akan berjalan pelan demi meminimalkan jatuh korban pada pasukan Israel, dan sebaliknya membunuh sebanyak mungkin pejuang Hamas.

Israel juga berusaha mencegah pertempuran Gaza tidak tumpah ke seluruh kawasan, khususnya Lebanon di mana Hizbullah yang berafiliasi kepada Iran, sudah siap mengokang senjata.

Sekalipun sudah mengaktifkan 300 ribu pasukan cadangannya, militer Israel tak terlalu memusatkan perhatian ke Jalur Gaza.

Dengan cara demikian, Israel bisa dengan mudah menggerakkan pasukannya yang lain ke utara di perbatasan Israel-Lebanon, seandainya Hizbullah memutuskan membantu Hamas memerangi Israel.

"Mereka khawatir Hizbullah dan Iran akan menganggap serangan darat ke Gaza sebagai pemicu untuk adanya eskalasi perang, dan itulah alasannya Israel tak menamakan operasinya ini dengan invasi darat," kata seorang diplomat Barat kepada harian ekonomi Inggris Financial Times.

Segalanya memang berlangsung rahasia. Israel tampaknya tak ingin memberikan petunjuk kepada siapa pun karena mungkin khawatir petunjuk-petunjuk itu jatuh ke tangan Hamas sehingga musuhnya itu makin bersiap menghadapi serangan darat Israel.

Hamas sendiri menyatakan sudah siap menghadapi segala skenario serangan darat Israel.

Lagi pula, mana mungkin mereka berani masuk dan menyerang Israel pada 7 Oktober jika mereka tidak memperhitungkan skenario serangan balik Israel.

Hamas mungkin malah sengaja menantang Israel masuk gelanggang perang yang mereka ciptakan, termasuk rangkaian terowongan yang vital saat infiltrasi maut ke dalam wilayah Israel pada 7 Oktober itu.

Terowongan itu sendiri sudah dikenal pada 1989, tapi baru pada 2001 cerita tentang terowongan Gaza mencapai mana-mana, setelah Hamas menjadi penguasa de facto di Jalur Gaza.

Lalu, setelah Israel menarik pasukannya dari Gaza pada 2005, Hamas intensif membangun jaringan terowongan yang awalnya difungsikan sebagai jalur memasukkan barang dan senjata dari Mesir.

Fungsi itu berubah setelah Israel kian brutal menyerang kelompok-kelompok perlawanan Palestina, khususnya Hamas, dan akibat kian terkepungnya Jalur Gaza oleh blokade Israel sejak 2006 ketika Hamas memenangkan Pemilu Palestina tahun itu.


Tiga skenario

Pada 2014 Israel sukses menghancurkan total 32 terowongan yang total panjangnya mencapai 100 km, dan 14 terowongan di antaranya tembus ke wilayah Israel.

Ternyata, jumlah terowongan sebanyak itu menjadi kerikil di atas pasir karena, itu hanya bagian kecil dari total 1.300 terowongan dengan panjang total 500 km atau 10 kali luas wilayah Jalur Gaza.

Panjang sekali bukan? Selain panjang, juga canggih dan kebanyakan sulit dihancurkan oleh bombardemen sekalipun karena begitu dalam di perut Bumi.

Israel sendiri mengakui terowongan yang dibangun Hamas ini jauh lebih rumit dan canggih ketimbang terowongan Vietkong (Vietnam Utara) pada Perang Vietnam, sekitar 50 tahun lalu.

Maka tak heran, operasi darat Israel di Gaza akan sangat berat. Ini juga menjadi peperangan hidup dan mati, baik bagi Hamas maupun Israel.

Situasi medan tempur ini sepertinya memaksa Israel kepada operasi daratnya yang mereka sendiri yakini bakal sangat berdarah-darah.

Akan tetapi, fokus itu pula yang membuat Israel enggan membeberkan strategi-strateginya di Gaza. Dunia hanya tahu bahwa Israel ingin melenyapkan Hamas untuk selamanya, sampai tak lagi menjadi ancaman bagi Israel.

Untuk itu, Israel sepertinya melupakan skenario Gaza setelah perang. Akan tetapi, justru di bagian ini yang membuat khawatir banyak kalangan, termasuk sekutu-sekutu Israel di Barat. Padahal, sebuah peta jalan setelah perang akan membantu sekutu-sekutu Israel itu bertindak efektif.

Sebagian kalangan hanya bisa menduga apa yang bakal terjadi di Gaza setelah Israel menginvasi wilayah ini dan seandainya mereka berhasil menjinakkan Hamas. Mereka menawarkan skenario-skenario Gaza pascaperang.

Tiga skenario di antaranya menarik untuk disimak; yakni Israel menduduki kembali Jalur Gaza, Otoritas Palestina memerintah kembali Gaza, dan pemerintahan bersama negara-negara Arab di Jalur Gaza.

Namun, skenario-skenario yang sudah luas dibahas oleh media massa dan pakar-pakar internasional itu memiliki kelemahan yang membuatnya tak efektif.

Jika Israel menduduki kembali Gaza seperti sebelum 2005, maka itu akan memaksa pemerintah Israel "menghidupi" Gaza, yang mustahil disanggupi Israel lantaran sudah kesulitan mengurusi keuangan negerinya sendiri. Menempatkan warga atau tentara Israel di Gaza juga sama halnya mengancam keselamatan mereka.

Akan tetapi, jika Otoritas Palestina kembali memerintah Jalur Gaza pada masa sensitif seperti sekarang, maka itu sama artinya bunuh diri bagi Otoritas Palestina

Ini karena, memerintah kembali Gaza setelah satu-satunya wilayah kantong Palestina yang berbatasan laut lepas itu digempur habis-habisan oleh Israel, akan sama artinya dengan berkuasa di Gaza karena "kebaikan" Israel. Ini bisa membuat Otoritas Palestina dianggap kaki tangan Israel oleh bagian terbesar rakyat Palestina.


Faktor Iran

Menyerahkan pemerintahan Gaza kepada negara-negara Arab juga tidak terlalu baik karena kebanyakan negara Arab menghadapi kesulitan sendiri-sendiri atau fokus ke dalam negeri seperti dilakukan sejumlah negara Arab Teluk.

Selama ini, negara-negara Teluk yang kaya raya sebenarnya menjadi pihak yang paling aktif membantu keuangan Palestina sampai menjadi sumber dana pembangunan Palestina. Namun, mengelola Gaza secara langsung sama artinya menghadirkan masalah baru yang pelik bagi mereka.

Lagi pula, kalaupun misalnya Hamas berhasil dilikuidasi Israel, Hamas secara spirit dan model perjuangan akan lestari di hati warga Palestina karena mereka sudah mengakar dan dianggap efektif mengelola pemerintahan Palestina dan dalam menghadapi Israel. Itu tak hanya warga Palestina di Jalur Gaza, namun juga di Tepi Barat.

Saking sulitnya membayangkan keadaan-keadaan Gaza setelah perang, Israel diam-diam menyiapkan rencana relokasi warga Palestina dari Jalur Gaza ke Semenanjung Sinai di Mesir.

Proposal dari Kementerian Intelijen Israel yang diberitakan Associated Press dan dianggap PM Israel Benjamin Netanyahu sebagai "masih di atas kertas" ini langsung ditampik Mesir karena bisa membuat Mesir bergejolak, di samping menjadikan Mesir sebagai basis baru perlawanan Palestina yang bakal menyulitkan rezim Kairo di kemudian hari.

Proposal ini juga dikecam Palestina dan dunia Arab. Mereka menolak setiap langkah serupa malapetaka atau nakba 1948 ketika warga Arab dipaksa pindah dari tanah mereka yang kini menjadi wilayah Israel. Sebagian warga Arab Palestina yang terusir itu menyingkir di Jalur Gaza hingga beranak pinak menurunkan generasi Gaza saat ini.

Selain itu, ketiadaan skenario pascaperang bisa membuat peperangan tak terarah dan semakin brutal karena perang hanya didasarkan kepada balas membalas sakit hati, apalagi jika sudah dikaitkan dengan popularitas pemimpin politik.

Netanyahu disebut sejumlah kalangan di Israel berusaha memanfaatkan krisis Gaza untuk memoles citra dirinya yang memburuk akibat korupsi dan amendemen sistem peradilan.

Dan, jika perang semakin brutal, aktor regional seperti Iran, kecil kemungkinan akan terus tinggal diam. Paling tidak mereka mengaktifkan proksi-proksinya di Lebanon, Suriah, dan Yaman.

Seandainya Iran menceburkan diri dalam perang Gaza, maka Iran bisa saja mengambil langkah-langkah drastis seperti menutup Selat Hormuz yang vital bagi pengiriman minyak Arab Teluk ke seluruh dunia, seperti Rusia mensterilkan Laut Hitam demi perangnya di Ukraina.

Jika hal itu terjadi, harga minyak dunia bakal melambung tinggi, justru ketika dunia masih belum pulih benar dari dampak pandemi, dampak perang Ukraina, dan gelombang inflasi. Skenario seperti itu disebutkan juga oleh Bank Dunia dan media-media terkemuka seperti Bloomberg.

Alhasil, krisis Gaza, jika tak dikelola dengan benar, termasuk dengan tak menyiapkan skenario pascaperang yang baik, bisa menyengsarakan umat manusia dan mempersulit kehidupan global, selain membuat permusuhan Palestina-Israel tak pernah bisa dibawa ke meja perundingan.

Copyright © ANTARA 2023