ada majikan dari keluarga ekspatriat itu yang memerintah pekerjanya dengan kaki. Ada pula yang tinggal di apartemen mengunci pekerja rumah tangganya di dalam unit yang mereka tempati sampai dia pulang dari tempatnya bekerja.

Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah keluarga ekspatriat di Jakarta mencontoh perlakuan buruk keluarga Indonesia terhadap pekerja rumah tangga (PRT) baik dalam soal gaji maupun cara mempekerjakan mereka, kata aktivis Jaringan Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT).

"Sayangnya, karena itu terjadi di Indonesia, tidak ada kegemparan dalam masyarakat kita. Kita baru gempar kalau itu menimpa TKI kita di luar negeri," kata Koordinator Jala PRT, Lita Anggraini, pada acara sosialisasi RUU Perlindungan PRT, di Jakarta, Jumat.

Perlakuan "semena-mena" majikan dari keluarga ekspatriat di Jakarta itu didapatnya dari laporan sejumlah pekerja rumah tangga di kawasan elit Jakarta Selatan tentang kondisi kerja mereka kepada Jala PRT. Majikan asal Korea Selatan, Jepang dan Malaysia misalnya umumnya membayar para pekerja rumah tangganya sebesar Rp800 ribu per bulan namun ada yang tidak mengindahkan batasan delapan jam kerja, tambah Lita.

"Bahkan, ada majikan dari keluarga ekspatriat itu yang memerintah pekerjanya dengan kaki. Ada pula yang tinggal di apartemen mengunci pekerja rumah tangganya di dalam unit yang mereka tempati sampai dia pulang dari tempatnya bekerja," kata Lita.

Kasus pekerja rumah tangga Indonesia yang ditahan majikannya sehingga dia tidak bisa mudik saat hari besar keagamaan juga pernah terjadi di Jakarta. Ketidakadilan yang diterima sejumlah pekerja rumah tangga Indonesia dari majikan asing mereka itu tidak terlepas dari bagaimana majikan Indonesia memperlakukan pekerjanya di rumah, kata aktivis buruh ini.

Jala PRT setidaknya mencatat 15 kasus kekerasan fisik, psikis dan ekonomi terhadap PRT berupaya caci maki, penganiayaan yang menyebabkan korban dirawat di rumah sakit, dan gaji tidak dibayar.

Kasus kekerasan fisik dan ekonomi itu antara lain menimpa Khamsanah (25) asal Demak (Jawa Tengah), Dimasriyah (14) asal Cijember, Kabupaten Sukabumi (Jawa Barat), serta Rumini (18) dan Irma (16), katanya.

Kasus-kasus yang ada dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mendorong berkembangnya kelas menengah di Tanah Air semakin menunjukkan perlunya bangsa ini memiliki UU Perlindungan PRT, kata Lita.

Terkait dengan acara sosialisasi RUU Perlindungan PRT yang diselenggarakan Jala PRT bekerja sama dengan Serikat Pekerja Antara dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) itu, Lita mengatakan pihaknya memandang penting acara tersebut karena dilakukan kepada jurnalis.

Sosialisasi tentang RUU Perlindungan PRT dan Konvensi ILO No.189 bagi wartawan di Auditorium Adhiyana Wisma Antara itu diharapkan dapat membangun kesadaran pada para pekerja media tentang pentingnya isu perlindungan bagi PRT, katanya.

Jala PRT yang beranggotakan kalangan aktivis serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan perorangan yang peduli pada isu perlindungan PRT itu memperkirakan jumlah pembantu rumah tangga di Indonesia mencapai sedikitnya 10,7 juta orang.

Jumlah WNI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di luar negeri mencapai sedikitnya enam juta orang. Mereka mengadu nasib di sejumlah negara di Timur Tengah, Hong Kong, Taiwan, Malaysia, Brunei, dan Singapura.

Acara yang dihadiri kalangan wartawan dan aktivis serikat pekerja di Jakarta dan sekitarnya itu juga menghadirkan Wakil Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Muhamad Hakim dan Sosiolog Universitas Indonesia Ida Ruwaida Nur sebagai pembicara.

Acara yang dipandu Penasehat SP Antara Johnny Tarigan dan diisi dengan telekonferensi dengan seorang majikan dan PRT asal Yogyakarta dan Semarang itu juga dihadiri ketua Komisi Kesetaraan KSBSI, Yatini Sulistyowati.

(R013)

Pewarta: Rahmad Nasution
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013