Kartu tenaga kerja luar negeri (KTKLN) yang diklaim bertujuan sebagai mekanisme perlindungan BMI (Buruh Migran Indonesia) pada praktiknya justru membebani BMI, bahkan menjadi penghalang mereka untuk bepergian dan mendapat pekerjaan di luar negeri,"

Semarang (ANTARA News) - Kartu tenaga kerja luar negeri harus dibebankan pada Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), bukan kepada para TKI, kata anggota Panitia Khusus RUU PPTKILN DPR RI Eva Kusuma Sundari.

"Kartu tenaga kerja luar negeri (KTKLN) yang diklaim bertujuan sebagai mekanisme perlindungan BMI (Buruh Migran Indonesia) pada praktiknya justru membebani BMI, bahkan menjadi penghalang mereka untuk bepergian dan mendapat pekerjaan di luar negeri," katanya kepada Antara di Semarang, Kamis malam.

Eva selaku anggota Pansus Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (PPTKILN) mengemukakan hal itu ketika merespons keberatan para TKI tehadap KTKLN dalam dialog dengan peserta Jambore Buruh Migran di Cilacap, Rabu (12/6).

Menurut dia, karena penanggung jawab utama pengiriman BMI adalah PPTKIS, maka KTKLN harus merupakan beban PPTKIS sebagai syarat dibolehkannya memberangkatkan BMI-BMI tertentu.

"Aneh, kalau KTKLN dibebankan pada individu-individu BMI terlebih mereka yang pulang untuk cuti yang jelas-jelas tidak dalam keadaan rawan/rentan terhadap kebutuhan perlindungan," katanya.

Eva yang juga anggota Komisi III (Bidang Hukum, HAM, dan Keamanan) DPR RI menegaskan bahwa pemaksaan atas kepemilikan KTKLN itu amat berlebihan, selain merugikan para BMI.

"Faktanya, BNP2TKI dapat mengondisikan Imigrasi Cengkareng untuk melakukan `pencekalan` secara ilegal dan bahkan Maskapai Garuda bisa menolak mengangkut para BMI karena tidak memiliki KTKLN. Ini jelas perilaku `abuse of power` Garuda maupun Imigrasi terhadap warga negara BMI," katanya.

Melibatkan Garuda dan Imigrasi dalam urusan KTKLN, menurut dia, sesungguhnya telah menyeret keduanya ke dalam bisnis pengiriman BMI.

Hal itu memprihatinkan karena ada dugaan praktik mafia KTKLN di Cengkareng. Para TKI yang tidak memegang KTKLN, menurut Eva, dapat membeli dari seseorang dengan harga Rp1 juta--Rp1,5 juta per kartu saat itu juga di Cengkareng.

Yang lebih ironis, lanjut dia, KTKLN tidak membantu apa pun jika kelak TKI menghadapi kesulitan-kesulitan di tempat pengiriman, dan lebih merupakan kepentingan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dalam pengaturan administrasi keberangkatan BMI di bandara.

"Bisnis KTKLN ini harus diluruskan, jangan menghukum BMI atas kelemahan pengawasan Menakertrans dan BNP2TKI terhadap PPTKIS yang nakal. Dalam ini Fraksi PDI Perjuangan mempertimbangkan perbaikan pengaturan KTKLN dalam revisi UU No. 39/2004," demikian Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Eva Kusuma Sundari.

(D007/E011)

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013