Jakarta (ANTARA) - Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina Putut Widjanarko mengatakan perlu diwaspadai terjadinya penurunan political efficacy usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang bagas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Penurunan political efficacy artinya penurunan persepsi individu tentang kemampuannya untuk memengaruhi proses politik dan kebijakan publik.
"Karena apa pun yang dilakukan, ternyata tidak memberi hasil sesuai yang disepakati bersama, karena ternyata ada orang yang bisa mengubah peraturannya," kata Putut dalam diskusi yang dipantau di Jakarta, Minggu.
Baca juga: Akademisi: MKMKdapat perkuat kepercayaan masyarakat terhadap MK
Baca juga: Akademisi: Tak semua masyarakat persoalkan putusan MK soal usia capres
Ia menilai penurunan political efficacy terutama terjadi pada kelompok masyarakat kelas menengah yang cenderung memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kondisi di sekitarnya.
"Kalaupun cuma kelas menengah yang political erfficacy-nya menurun, tapi ini bahaya juga. Karena bagaimanapun kelas menengah kan jumlahnya semakin besar," kata Putut menambahkan.
Ia menilai terpilihnya Joko Widodo atau Jokowi pada 2014 sebagai Presiden meningkatkan political efficacy masyarakat sipil karena Jokowi yang bukan keturunan presiden atau tokoh militer bisa menjadi presiden.
"Saat itu kan volunterisme luar biasa. Orang berduyun-duyun mendukung. Salah satu yang paling dilihat saat itu bahwa kita semua, tetangga kita yang orang biasa, bisa menjadi presiden," ucap Putut.
Adapun penurunan political efficacy dapat membuat masyarakat yang selama ini turut dalam berjalannya negara, misalnya dengan membayar pajak, menjadi lebih abai pada kewajibannya.
Sebelumnya, MK membuat Putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah persyaratan capres dan cawapres yang tertuang dalam Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pasal tersebut kini berbunyi capres dan cawapres “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Terkait dengan hal tersebut, Majelis Kehormatan MK telah dibentuk untuk mengusut laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie menyebut sembilan orang hakim konstitusi akan diperiksa secara tertutup perihal pengusutan itu.
Pada Kamis (26/10), MKMK menggelar rapat perdana secara hibrid itu digelar dengan agenda klarifikasi terhadap pihak pelapor. Mereka dimintai klarifikasi terkait hal pokok yang dilaporkan, termasuk kepada siapa laporan dilayangkan.
Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2023