"Menurut saya, ini sudah memasuki hal-hal yang luar biasa. Apakah benar upaya pemberantasan korupsi harus dihentikan," ujar Ruki.
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merisaukan permohonan uji materil UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK yang diajukan oleh Masyarakat Hukum Indonesia (MHI) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki, di Gedung KPK, Jalan Veteran, Jakarta, Jumat, menggolongkan upaya uji materil terhadap UU KPK itu sebagai upaya perlawanan terhadap pemberantasan korupsi (corruption fight back) yang sudah sangat luar biasa. "Menurut saya, ini sudah memasuki hal-hal yang luar biasa. Apakah benar upaya pemberantasan korupsi harus dihentikan," ujar Ruki. Ia menilai upaya-upaya perlawanan dari para koruptor sudah semakin kuat yang dilakukan dengan berbagai cara. Kalau hanya sekedar mengajukan perlawanan secara hukum seperti mempraperadilkan KPK, lanjut dia, itu adalah hal yang sudah biasa yang harus dihadapi KPK sebagai lembaga penegakan hukum. Ia menyayangkan langkah uji materil terhadap UU KPK yang menggugat keberadaan KPK, padahal menurut dia, KPK adalah sebuah personifikasi dari keinginan masyarakat yang sudah dituangkan dalam bentuk UU dan telah disetujui oleh pemerintah dan DPR. "Kalau pimpinannya yang tidak benar, maka suruh saja mundur. Itu gampang. Tetapi jangan KPK-nya yang minta dibubarkan," ujarnya. Ia tidak menganggap tepat jika ada pihak yang menilai beberapa pasal dalam UU KPK harus dicabut dan dianggap berlawanan dengan UUD 1945. Pada 3 Mei 2006 MHI mengajukan permohonan uji materil terhadap UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Mahkamah Konstitusi. MHI mengatakan ketentuan beberapa pasal dalam UU KPK, terutama pasal 1 ayat 3, pasal 2,3,20 ayat 1 dan 2 serta pasal 8 ayat 2 bertentangan dengan UUD 1945. "Paradigma yang mendasarinya bertentangan dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat dan negara hukum serta keadilan sesuai ketentuan dalam UUD 1945," kata Direktur Eksekutif MHI, Wakil Kamal. Frase "independen dan bebas dari pengaruh mana pun" yang termuat dalam pasal 3 UU KPK, menurut MHI, bertentangan dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum dan keadilan sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945 karena konstitusi tidak menganut kekuasaan yang terbatas. "Namun, kenyataannya KPK mempunyai kekuasaan yang absolut dan jika KPK tidak dapat dipengaruhi maupun dikontrol oleh kekuasaan eksekutif, yudikatif, maupun legislatif, maka dimana posisi KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia," kata Wakil.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006