Ini beberapa hal yang diselidiki oleh KPK adalah berkaitan dengan kewajiban si penerima SKL itu."
Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Sukardi dimintai keterangan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dengan obligor atau pengutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Tadi ada masalah tentang obligor BLBI, jadi lebih banyak ditanya tentang sidang kabinet," katanya seusai pemeriksaan di Gedung KPK Jakarta, Selasa malam.
Laksamana dimintai keterangannya oleh penyidik KPK guna penyelidikan pemberian SKL (Surat Keterangan Lunas) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Laksamana menjelaskan bahwa dia banyak dicecar pertanyaan seputar sidang kabinet yang memutuskan untuk memberikan kepastian hukum para obligor yang menerima SKL, karena Laksamana dianggap dapat membantu memberikan klarifikasi mengingat dia turut hadir dan mengikuti sidang itu.
"Tapi kan yang ikut sidang banyak, bukan hanya saya saja jadi yang lain juga akan ikut dimintai keterangan," jelas dia.
Dalam kasus ini, KPK sebelumnya juga meminta keterangan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, mantan Menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001-2004 Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, mantan Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000-2001 Rizal Ramli, mantan Menteri Keuangan 1998-1999 Bambang Subiyanto, Menko Perekonomian 1999-2000 dan mantan Kepala Bappenas 2001-2004 Kwik Kian Gie.
KPK pada 2008 telah membentuk empat tim khusus untuk menyelesaikan kasus BLBI yang sebelumnya ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Salah satu tim bertugas untuk menangani perkara yang dihentikan kejaksaan karena telah menerima SKL, termasuk kasus Sjamsul Nursalim yaitu mantan pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang mempunyai utang sebesar Rp28,4 triliun.
Juru Bicara KPK Johan Budi menjelaskan pengusutan pemberian SKL pada kasus BLBI ini merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan kasus tersebut disamping pengusutan tindak pidana kasus ini dan perihal pengembalian aset.
"Ini beberapa hal yang diselidiki oleh KPK adalah berkaitan dengan kewajiban si penerima SKL itu," ujar Johan di gedung KPK Jakarta, pada Selasa.
Johan menjelaskan bahwa menurut KPK ada beberapa perihal yang perlu diselidiki terutama perihal kewajiban penerima SKL sudah sesuai atau belum, sehingga perlu diselidiki karena dicurigai ada dugaan tindak pidana korupsi.
"Namun belum ada kesimpulan sampai ke situ," jelas Johan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) oleh Badan Pemeriksa Keuangan, nilai penjualan dari aset Salim yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk penyelesaian BLBI ternyata hanya 36,7 persen atau sebesar Rp19,38 triliun dari Rp52,72 triliun yang harus dibayar.
Mekanisme penerbitan SKL yang dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002 saat kepemimpinan Presiden Megawati yang mendapat masukan dari mantan Menteri Keuangan Boediono, Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-Djakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Kwik dalam pemeriksaan di kejaksaan, mengaku dalam setiap rapat kabinet ia selalu memprotes rencana penerbitan SKL tapi kalah dengan menteri lain.
Alasannya menolak penerbitan SKL adalah karena ada campur tangan International Monetary Fund (IMF) terkait penyelesaian BLBI sehingga berdampak pada proses penjualan aset bekas pengutang BLBI yang tergesa-gesa, bahkan tanpa tender, misalnya, kejanggalan penjualan Bank BCA pada 2004.
Kwik mengatakan, penjualan BCA disebabkan Salim tidak mampu melunasi BLBI Rp53 triliun, BCA termasuk salah satu dari 108 aset Salim yang diserahkan yang saat dijual hanya laku Rp20 triliun karena proses penjualan BCA lebih banyak ditekan IMF.
Proses penjualan dilaksanakan tanpa tender dan calon pembeli BCA sudah ditunjuk yaitu lembaga keuangan Farallon dan Standard Chartered padahal selang tiga tahun kemudian aset BCA meningkat berkali-kali lipat.
Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp138,4 triliun dinyatakan merugikan negara, namun baru 16 orang yang diproses ke pengadilan.
Dari 16 orang tersebut, tiga terdakwa dibebaskan pengadilan, 13 orang yang yang telah divonis hanya satu koruptor yang dijebloskan ke penjara, dua terdakwa lain tidak langsung masuk ke penjara dan sembilan terdakwa melarikan diri ke luar negeri. (M048/R021)
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013