“Tentu geopolitik global akan mempengaruhi investor asing juga yang masuk ke Indonesia. Interest rate yang naik di Amerika, Indonesia akan shifting player di equity. Entah mereka kembali karena biayanya menjadi lebih mahal atau karena interest rate ataupun fixed income menjadi lebih menarik untuk invest,” ujar Michael dalam “Go Public Talkshow” di Jakarta, Jumat.
Sementara, terkait permodalan (equity) menurut Michael lebih merujuk kepada risiko investasi jangka panjang, bukan hanya satu tahun, sehingga masih jadi pertanyaan apakah 2024 menjadi waktu yang tepat bagi investor untuk masuk saat pasar terkoreksi (market correction), terlebih saat ini investor fokus pada sektor dan industri tertentu.
Michael juga melihat saat ini peta investasi dan fokus investor institusi terletak pada 3D, yakni dekarbonisasi, demografi, deglobalisasi, dan ‘Artificial Intelligence’ (AI).
“Sekarang ini kami di Schroder mengidentifikasi bahwa kita akan fokus pada 3D, itu demografi. Jadi negara yang memiliki demografi besar di sisi bawah, artinya demografi muda dengan ‘saving rate’ yang tinggi, itu akan menjadi menarik untuk lakukan investasi,” kata Michael.
Selanjutnya, dekarbonisasi atau pergeseran menuju energi hijau dan berkelanjutan menjadi salah satu pendorong utama. Investor institusi semakin tertarik pada perusahaan yang menciptakan solusi inovatif untuk menangani perubahan iklim.
Dalam konteks ini, perusahaan yang fokus pada teknologi terbarukan, pengurangan emisi karbon, dan investasi dalam hutan atau reforestasi akan mendapatkan perhatian yang lebih besar.
“Itu yang menjadi fokus, sayangnya penangkapan karbon yang sekarang maju adanya di Switzerland. Kemudian, banyak perusahaan luar melakukan investasi di teknologi untuk menangkap karbon, tapi kita sebenarnya memiliki potensi untuk menangkap karbon karena kita memiliki laut. Kita memiliki laut dan itu menangkap karbon. Selama laut itu tidak diaduk-aduk,” ujar Michael.
Kemudian, deglobalisasi menjadi dimensi lain dalam pertimbangan investor, dengan adanya pergeseran dari globalisasi ke de-globalisasi, investor mencari pasar yang dapat berdiri sendiri tanpa terlalu mengandalkan impor.
“Setiap negara, karena geopolitik berpikir untuk memaksimalkan penggunaan produk di dalam negeri, tidak melakukan impor, berusaha menekan impor, dan bisa sustain dengan produk-produk di dalam negeri. Jadi shifting investor di dunia akan mencari ke mana kita melihat market, yang ada marketnya, dan bisa tidak negara itu sustain dengan produk-produk mereka,” ujar Michael.
Terakhir, peran ‘Artificial Intelligence’ (AI) membawa dinamika tersendiri, karena investor mencari perusahaan yang mampu menggabungkan kecerdasan buatan dengan etika dan keamanan. Namun, ada juga peringatan terhadap potensi risiko, terutama terkait dengan keberlanjutan data dan privasi.
Melihat seluruh gambaran ini, tren Penawaran Umum Perdana Saham atau Initial Public Offering (IPO) tidak lagi hanya melibatkan pertimbangan finansial semata. Perusahaan yang memimpin dalam 3D tersebut, sambil memperhitungkan implikasi dari kemajuan AI, dapat menjadi bintang-bintang baru di pasar modal.
Baca juga: Tumbuh Makna sebut dinamika geopolitik beri peluang investasi bagi RI
Baca juga: Emas naik masih dipicu ketegangan geopolitik di Timur Tengah
Baca juga: Kemenkeu: Minat lelang SUN turun imbas naiknya tensi geopolitik
Pewarta: Putri Hanifa
Editor: Citro Atmoko
Copyright © ANTARA 2023