Naypyitaw, Myanmar (ANTARA News) - Menteri Imigrasi Myanmar mendukung kebijakan pembatasan dua anak bagi satu warga minoritas Muslim Rohingya, yang disebut pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi dan PBB sebagai diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia.
Menteri Kependudukan dan Imigrasi Myanmar, Khin Yi, menyatakan dukungannya pada kebijakan pembatasan dua anak bagi warga Muslim Rohingya yang baru-baru ini penerapannya diumumkan oleh otoritas lokal di bagian barat laut Negara Bagian Rakhine.
"Ini akan menguntungkan perempuan Bengali," kata Khin Yi tentang populasi Rohingya, yang disebut pemerintah Myanmar sebagai kelompok minoritas Bengali yang tak bernegara, dalam wawancara dengan Reuters.
"Para wanita Benggali yang tinggal di Rakhine punya banyak anak. Di beberapa daerah, satu keluarga punya 10 sampai 12 anak," kata Khin Yi.
"Itu tidak baik bagi nutrisi anak. Tidak akan mudah untuk sekolah. Tidak akan terlalu mudah untuk merawat anak-anak," tambah dia.
Khin Yi juga menjawab dengan "Ya" ketika ditanya apakah dia mendukung kebijakan itu.
Para pekerja kesehatan mengatajan kebijakan pembatasan dua anak bisa mendorong aborsi yang tidak aman di kawasan paling miskin di Asia Tenggara itu.
Otoritas di Negara Bagian Rakhine menyatakan mereka perlu menerapkan pengendalian populasi Rohingya untuk mencegah kerusuhan berlanjut, demikian laporan kantor berita Reuters.
Di Sittwe, Ibu Kota Negara Bagian Rakhine, kebijakan itu telah memisahkan pemeluk Buddha dari Muslim, yang beberapa di antaranya tinggal di penjara sejak kekerasan sektarian bulan Juni tahun lalu.
Juru Bicara Pemerintah Negara Bagian Rakhine bulan lalu menegaskan kembali regulasi dua anak tahun 2005 di dua kota, Buthidaung dan Maungdaw, bagian dari jaring pembatasan yang dilakukan bekas pemerintahan militer untuk mengendalikan populasi Rohingya.
PBB mendesak Myanmar "mencabut kebijakan atau praktek-praktek seperti itu".
Kelompok hak asasi manusia Human Rights Watch yang bermarkas di New York mengatakan undang-undang seperti itu melanggar hak asasi manusia internasional serta membahayakan kesehatan perempuan.
Peraih hadiah Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, menyebut kebijakan itu "diskiriminsi" "dan tidak sejalan dengan hak asasi manusia".
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013