Kami menerima banyak mayat."

Baghdad, Irak (ANTARA News) - Gelombang serangan di Irak pada Senin menewaskan 61 orang, hampir separuh diantaranya di kota wilayah utara, Mosul, kata sejumlah pejabat.

Serangan-serangan itu merupakan yang terakhir dari rangkaian kekerasan di Irak yang menyulut kekhawatiran mengenai kembalinya perang sektarian besar, lapor AFP.

Di Mosul, yang berpenduduk mayoritas Arab Sunni, 29 orang tewas ketika lima bom mobil menghantam sasaran-sasaran militer dan polisi, kata pejabat-pejabat itu, dengan menambahkan bahwa jam malam telah diberlakukan di kota tersebut.

"Kami menerima banyak mayat," kata Anwar al-Juburi, seorang dokter di Rumah Sakit Umum Mosul. "Sebagian besar dari mereka anggota pasukan keamanan."

Menurut dokter itu dan seorang brigadir jendral angkatan darat, sedikitnya 29 orang tewas dan 80 lain cedera di kota itu.

Mosul dan provinsinya, Nineveh, masih menjadi salah satu tempat yang tidak stabil dan paling banyak dilanda kekerasan di Irak.

Kota itu merupakan salah satu daerah yang berpenduduk mayoritas Sunni yang selama beberapa bulan ini melakukan protes anti-pemerintah.

Sementara itu di kota-kota wilayah utara, Kirkuk, Tikrit dan Tuz Khurmatu, serangan-serangan menewaskan delapan orang.

Di daerah sebelah utara Baghdad di Taji dan provinsi tetangganya, Diyala, ledakan-ledakan bom menewaskan 20 orang, sementara pemboman bunuh diri yang ditujukan pada pasukan keamanan menewaskan empat orang lain.

Belum ada kelompok yang mengklaim bertanggung jawab atas serangan-serangan itu, namun militan Sunni terkait Al Qaida sering menyerang orang Syiah yang mereka anggap sesat, dalam serangan-serangan bom serentak yang menimbulkan korban dalam jumlah besar.

Serangan-serangan di Baghdad dan penjuru lain Irak meningkat tajam dan Mei merupakan bulan paling mematikan sejak 2008, dimana lebih dari 1.000 orang tewas, menurut PBB.

Seorang utusan PBB untuk Irak memperingatkan bahwa kekerasan sudah "siap meledak".

Serangan-serangan Senin itu merupakan yang terakhir dari gelombang pemboman dan serangan bunuh diri di tengah krisis politik antara Perdana Menteri Nuri al-Maliki dan mitra-mitra pemerintahnya dan pawai protes selama beberapa pekan yang menuntut pengunduran dirinya.

Lebih dari 450 orang tewas dalam kekerasan pada April, sementara jumlah kematian pada Maret mencapai 271.

Sepanjang Februari, 220 orang tewas dalam kekerasan di Irak, menurut data AFP yang berdasarkan atas keterangan dari sumber-sumber keamanan dan medis.

Irak dilanda kemelut politik dan kekerasan yang menewaskan ribuan orang sejak pasukan AS menyelesaikan penarikan dari negara itu pada 18 Desember 2011, meninggalkan tanggung jawab keamanan kepada pasukan Irak.

Selain bermasalah dengan Kurdi, pemerintah Irak juga berselisih dengan kelompok Sunni.

Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki (Syiah) sejak Desember 2011 mengupayakan penangkapan Wakil Presiden Tareq al-Hashemi atas tuduhan terorisme dan berusaha memecat Deputi Perdana Menteri Saleh al-Mutlak. Keduanya adalah pemimpin Sunni.

Pejabat-pejabat Irak mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Wakil Presiden Tareq al-Hashemi pada 19 Desember 2011 setelah mereka memperoleh pengakuan yang mengaitkannya dengan kegiatan teroris.

Puluhan pengawal Hashemi, seorang pemimpin Sunni Arab, ditangkap dalam beberapa pekan setelah pengumuman itu, namun tidak jelas berapa orang yang kini ditahan.

Hashemi, yang membantah tuduhan tersebut, bersembunyi di wilayah otonomi Kurdi di Irak utara, dan para pemimpin Kurdi menolak menyerahkannya ke Baghdad.

Pemerintah Kurdi bahkan mengizinkan Hashemi melakukan lawatan regional ke Qatar, Arab Saudi dan Turki. (M014)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013