Jakarta (ANTARA) - "Ngeenggggggg, ngeeengggg."

Suara dengung nyamuk itu terdengar dari sebuah ruangan. Ketika di dekati, suara tersebut berasal dari sebuah laboratorium milik Pusat Riset Teknologi Proses Radiasi Organisasi Tenaga Nuklir pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Jakarta.

Di dalam laboratorium yang berukuran 10 x 8 meter tersebut terdapat ratusan ribu nyamuk. Itu bukan sembarang nyamuk.

Nyamuk-nyamuk itu memiliki nama ilmiah Aedes aegypti, yang menjadi vektor utama penyebab penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) .

Penyakit tersebut setiap tahunnya telah merenggut nyawa ratusan orang yang tidak sengaja tergigit oleh nyamuk ini.

Di laboratorium itu terlihat dua orang peneliti dengan serius memperhatikan perilaku para nyamuk Aedes aegypti.

Mereka seolah acuh terhadap suara bising yang dihasilkan oleh para nyamuk.

Ketika ditanya sebenarnya apa yang mereka lakukan?

Jawaban yang terucap dari salah satu peneliti adalah membuat "nyamuk menjadi mandul"

Peneliti di Pusat Riset Teknologi Proses Radiasi Organisasi Tenaga Nuklir BRIN Beni Ernawan memberikan penjelasan bahwa ratusan ribu nyamuk yang ada di laboratorium tersebut sudah atau akan "dimandulkan", melalui metode yang disebut sebagai Teknik Serangga Mandul (TSM).

Teknik tersebut memanfaatkan paparan radiasi (iradiasi) gamma Cobalt 60, serta Cesium yang dalam konteks ini, termasuk dalam radiasi nuklir.

Sasaran utama dari TSM adalah para nyamuk DBD jantan. Nyamuk-nyamuk jantan itu dipapar dengan radiasi Cobalt 60, atau Cesium ketika dalam fase pupa.

Sehingga ketika menetas, alat reproduksi nyamuk jantan ini tidak dapat memberikan pembuahan yang optimal.

Nyamuk-nyamuk DBD yang dimandulkan sengaja dikembangbiakkan oleh BRIN. Hal ini bertujuan agar ketika nyamuk mandul dilepas liar dapat mengurangi populasi nyamuk Aedes aegypti biasa yang ada di suatu lingkungan masyarakat.

Meski nyamuk jantan mandul ini bisa membuahi betina, namun telur yang dihasilkan tak akan bisa menetas.

Sehingga seiring berjalannya waktu, populasi nyamuk jantan fertil akan kalah dengan jantan mandul.

Tujuan perlakuan agar nyamuk itu mandul adalah supaya populasi nyamuk DBD bisa ditekan ke batas aman.

Seperti radiasi pada umumnya, dampak yang diberikan kepada nyamuk DBD cukup besar.

Nyamuk-nyamuk yang terpapar sinar gamma tersebut, kemampuan terbang, umur, serta daya saing kawinnya akan turun secara drastis.

Biasanya nyamuk Aedes aegypti di alam liar mampu bertahan selama 3-4 pekan, namun apabila terpapar sinar gamma, usia dari nyamuk berbahaya ini hanya 1 pekan.

Hal ini yang menjadikan BRIN menyiasati kekurangan "power" dari nyamuk mandul hasil iradiasi gamma tersebut, dengan cara menerapkan konsep satu banding sembilan ketika melepaskannya ke alam liar.

Mekanisme ini disebut sebagai pembanjiran populasi (overflooding ratio). Artinya jumlah nyamuk yang mandul ketika dilepaskan mesti sembilan kali lipat lebih banyak dibandingkan nyamuk biasa.

Pelepasan melebihi populasi ini guna meningkatkan peluang keberhasilan nyamuk mandul membuahi betina.


Pilot project

Untuk mengukur keberhasilan teknik ini dalam menurunkan populasi nyamuk penyebab penyakit DBD, para peneliti di Pusat Riset Teknologi Proses Radiasi, Organisasi Tenaga Nuklir BRIN melakukan "pilot project" di Kelurahan Sekejati, Kecamatan Buah Batu, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat.

Proyek yang dilakukan pada April hingga November 2022 tersebut kemudian dimonitor mengenai dampak dilepaskannya nyamuk Aedes aegypti yang mandul terhadap populasi nyamuk jenis DBD biasa.

Hampir delapan bulan, para peneliti BRIN melepaskan 40.000 nyamuk DBD dalam sepakan sekali yang sebelumnya sudah dimandulkan melalui radiasi sinar gamma.

Lokasi pelepasan nyamuk jantan mandul tersebut hanya berada di satu rukun warga (RW), namun lokasi untuk evaluasi dan monitoring berada di tiga RW.

Untuk mencegah nyamuk-nyamuk ini keluar dari wilayah pengawasan, para peneliti memasang tembok tak terlihat (artificial barrier) dengan cara menyemprotkan insektisida residual, sehingga kawanan nyamuk DBD tersebut seolah terkurung dalam sangkar.

Selain di Bandung, BRIN juga sebelumnya sudah melakukan proyek yang sama di beberapa wilayah, seperti di Bangka Belitung, Salatiga, Semarang, dan Banjarnegara. Namun, di tempat-tempat tersebut, sistem monitoring serta evaluasi dampak terhadap penurunan jumlah populasi nyamuk DBD biasa belum selengkap dan komprehensif, seperti pilot project di Bandung.

Dari hasil proyek ini didapatkan data bahwa populasi nyamuk DBD di lokasi pelepasan yang padat penduduk (unisolated area) kini sudah menurun sekitar 60 persen.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti BRIN, mereka berharap TSM yang memandulkan nyamuk penyebab DBD bisa menjadi salah satu metode alternatif yang ramah lingkungan untuk mengendalikan penyakit DBD di Tanah Air dengan berbasis energi nuklir.

Sementara itu Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat hingga Oktober 2023, terdapat 68.996 kasus demam berdarah dengue (DBD) dengan kasus kematian 498 jiwa.

Sebanyak 68 ribu lebih kasus tersebut dilaporkan terjadi di 464 kabupaten dan kota di 34 provinsi, sedangkan kasus kematian akibat virus dengue itu terjadi di 195 kabupaten dan kota di 32 provinsi.

Mendeteksi infeksi virus secara dini serta mengendalikan reproduksi nyamuk menjadi kunci dalam penangan dan pencegahan DBD.

Selain itu, melakukan gerakan mencegah DBD melalui Program 3M (menguras, menutup, dan mengubur) mesti rutin dilakukan oleh masyarakat, terlebih apabila sudah mendekati musim hujan, serta diimbau untuk segera mendapatkan pengobatan awal ke fasilitas kesehatan (faskes) terdekat apabila seseorang telah mengalami gejala infeksi DBD.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023