Menelusuri daerah pedalaman Kalimantan Barat, akan tersaji pemandangan yang nikmat dipandang mata yang dapat menghilangkan kelelahan yang mendera sepanjang perjalanan.
Dari jalur udara, Kalimantan Barat dapat dicapai melalui penerbangan kea rah bandara Supadio Pontianak. Dari kota Pontianak, perjalanan dilanjutkan menuju kota Sintang, melalui jalan aspal, kemudian dilanjutkan dengan menyeberangi Sungai Ambawang menuju Tayan.
Dua tahun lalu jalan, jalanan di Tayan masih berupa jalan tanah liat yang dipenuhi genangan air di mana-mana, dan jika musim penghujan harus ekstra hati-hati mengemudikan kendaraannya. Saat ini, kondisi jalan jauh lebih baik, sehingga perjalanan Pontianak ke Sintang dapat ditempuh dalam waktu delapan jam perjalanan darat.
Kota Sintang identik dengan Bukit Kelam, yaitu bukit dari batu yang sangat besar, bahkan ada yang mengatakan ini adalah yang terbesar di dunia.
Kota Sintang merupakan tempat pertemuan dua sungai besar di Kalimantan Barat, yakni sungai Melawi dan Sungai Kapuas.
Hal inilah yang menjadikan Sintang sebagai salah satu pusat perekonomian di Kalimantan Barat. Sintang tumbuh sebagai salah satu pusat perekonomian di Kalimantan Barat dengan didukung oleh pembangunan infrastrukur berupa jalan, jembatan, serta fasilitas umum seperti Rumah Sakit dan sekolah-sekolah.
Berputarnya roda pembangunan sangat tergantung dari pajak negara yang terkumpul dan disalurkan melalui Dana Perimbangan Daerah. Sebagai salah satu pusat perekonomian di Kalimantan Barat, di Sintang terdapat Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Sintang yang melayani tiga wilayah kabupaten, yaitu Melawi, Kapuas Hulu dan Sintang.
Karena berada di tengah-tengah antara Melawi dan Kapuas Hulu, Sintang memiliki perbatasan dengan Malaysia melalui Kapuas Hulu dan perbatasan dengan Kalimantan Tengah melalui Melawi.
Perjalanan untuk menuju daerah-daerah di Melawi maupun Kapuas Hulu tidaklah semulus jalur terjelek di Jawa sekalipun.
Kendaraan-kendaraan roda empat bergardan ganda yang identik dengan mobil mewah di Jawa, adalah kendaraan yang sangat umum dijumpai. Bahkan angkutan umum yang hanya membawa beberapa barang dagangan dari pasar juga menggunakan kendaraan semacam ini.
Jalan lumpur tanah liat, kejadian motor putus rantai, dan truk sawit terguling adalah pemandangan yang sudah biasa ditemui. Jadi dapat dibayangkan kondisi medan yang harus dilalui masyarakat untuk beraktivitas setiap hari sangatlah berat. Tidak tertutup kemungkinan, masyarakat harus menggunakan perahu motor selama berjam-jam untuk mencapai lokasi tertentu di Melawi maupun Kapuas Hulu.
Banyak masyarakat yang mengeluhkan tentang pembangunan daerah, sekaligus mempertanyakan kemana uang pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. Harga bahan pokok yang sangat tinggi serta harga BBM yang serasa tanpa subsidi sering menjadi kendala masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Sering pula dikeluhkan oleh masyarakat betapa potensi alam yang berlimpah tidak diimbangi dengan pembenahan dan pembangunan infrastruktur yang sepantasnya.
Saat ini, masih banyak masyarakat yang mengira bahwa Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak adalah institusi yang bertanggungjawab dalam alokasi pendistribusian hasil penerimaan pajak.
Sebuah pandangan yang keliru, mengingat Ditjen Pajak hanya bertugas mengumpulkan pajak sedangkan alokasi pendistribusiannya dilakukan melalui penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam hal ini, APBN adalah produk usulan dari Kementerian/Lembaga yang harus disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebelum disahkan menjadi undang-undang.
Tentunya, karena melibatkan DPR, masyarakat dapat melakukan pengawasan dalam distribusi uang pajak melalui wakilnya di Senayan.
Hal inilah yang perlu menjadi perhatian, karena jika masyarakat mengeluhkan kesenjangan dalam distribusi uang pajak, maka mereka dapat mengeluhkannya kepada wakil rakyat di DPR.
Bahkan, jika dilihat dari kewenangannya, Ditjen Pajak hanya berwenang mengumpulkan pajak pusat, berupa Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) serta Pajak Bumi Bangunan (PBB) sektor Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan Migas (P3). Sedangkan pajak lainnya seperti pajak restoran, hotel, tempat hiburan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), hingga PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan (P2) merupakan pajak daerah yang dipungut oleh Pemerintah Daerah.
Saat ini, banyak daerah pedalaman yang masih belum mandiri dalam membiayai pembangunannya. Sebagai contoh, kegiatan pemerintahan di Kapubaten Kapuas Hulu didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp 558 miliar.
Dengan anggaran sebanyak itu, dialokasikan untuk pelayanan kesehatan sebesar Rp 78 miliar melalui dinas dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Sedangkan pembangunan sarana infrastruktur dialokasikan sebesar Rp 280 miliar, dalam bentuk pembangunan jalan dan jembatan serta fasilitas umum lainnya.
Jika dilihat dari Pendapatan Asli Daerahnya, Kabupaten Kapuas Hulu membukukan penerimaan sebesar Rp 112 miliar selama tahun 2012. Sedangkan total pengeluaran dalam RAPBD 2013 dianggarkan sebesar Rp 1 triliun, sehingga kabupaten Kapuas Hulu masih bergantung kepada APBN sebesar Rp 981 miliar.
Mengingat lebih dari 70% dana APBN berasal dari pajak, jelaslah betapa penggunaan uang pajak sangat dominan dalam pembangunan di daerah pedalaman di seluruh pelosok tanah air.
Yang perlu kita lakukan adalah meningkatkan kepatuhan kita dalam membayar pajak sekaligus mengawasi bagaimana uang pajak digunakan melalui APBN.
Tentunya kita semua berharap, agar masyarakat di daerah pedalaman dapat menikmati kesejahteraan yang sama dengan masyarakat di kota-kota besar di Indonesia. Bangga bayar pajak!
Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2013