Selama ini hanya agen dalam mata rantai distribusi gas tiga kilogram yang ditetapkan dalam peraturan Menteri ESDM,"
Pontianak (ANTARA News) - Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria berpendapat seharusnya pemerintah dan Pertamina menata ulang sistem distribusi gas bersubsidi tabung tiga kilogram agar harga jual di agen, pangkalan dan pengecer tidak jauh melebihi harga eceran tertinggi Rp12.750/tabung.
"Selama ini hanya agen dalam mata rantai distribusi gas tiga kilogram yang ditetapkan dalam peraturan Menteri ESDM. Jika ketentuan itu akan dipertahankan, seharusnya Menteri ESDM membuat peraturan bersama Menteri Dalam Negeri agar pembinaan dan pengawasan terhadap pangkalan dan pengecer gas bersubsidi menjadi kewenangan pemerintah daerah," kata Sofyano Zakaria kepada Antara di Pontianak, Minggu.
Ia menjelaskan, dengan begitu pemerintah daerah yang juga punya kepentingan terhadap ketersediaan gas bersubsidi bisa melakukan kendali melekat terhadap pangkalan dan pengecer gas bersubsidi agar tidak menjual di atas HET yang telah ditentukan.
"Saya meyakini stok gas tiga kilogram dan 12 kilogram cukup, gas tidak kosong, tetapi ada upaya dari penjual elpiji menaikkan harga jual mengikuti arus pasar terkait rencana pemerintah yang akan menaikkan harga BBM bersubsidi," ungkapnya.
Menurut Sofyano, selama ini, pembinaan dan pengawasan pangkalan gas ternyata lebih dominan dibebankan ke agen. "Ini yang salah besar, harusnya ini diserahkan dan menjadi kewenangan pemerintah daerah sehingga punya andil mengontrol distribusi gas bersubsidi," ujarnya.
Tanpa adanya kepastian secara hukum, siapa yang berwenang mengawasi dan membina keberadaan pangkalan dan pengecer gas bersubsidi, maka bisa dipastikan keberadaan mereka berpotensi menjadi "bola liar" yang akan menjadikan distribusi gas bersubsidi seperti bisnis barang bukan subsidi lagi, kata Sofyano.
Menurut dia, sejak gas tiga kilogram beredar di masyarakat, nyaris tidak ada sama sekali persyaratan dan peraturan yang mengatur tentang keberadaan pangkalan dan pengecer gas bersubsidi tersebut.
"Mereka lahir dan tumbuh mengikuti arus pasar, itu salah besar, karena distribusi dan perdagangan gas bersubsidi tidak boleh diperlakukan menurut hukum pasar karena yang didistribusikan adalah barang bersubsidi," ujarnya.
Pemerintah pascakonversi seperti melakukan pembiaran dan hal itu tersebut terus berlangsung sehingga harus diperbaiki, kata Sofayano.
Peraturan bersama tersebut, menurut dia, mengatur pangkalan dan pengecer sehingga keberadaan mereka menjadi terkontrol agar harga jual gas bersubsidi tidak menjadi permainan pihak-pihak tertentu yang semakin menambah beban rakyat.
"Gas tiga kilogram sebenarnya diperuntukkan bagi golongan tidak mampu atau masyarakat eks pengguna minyak tanah, karenanya pemerintah harusnya juga memberlakukan distribusi tertutup agar tidak semua golongan masyarakat menggunakan gas bersubsidi tersebut," tambahnya.
Hal itu, sebetulnya sudah diprogramkan pemerintah ketika konversi dilakukan, yakni dengan adanya kartu hijau kepada seluruh penerima paket konversi, kartu hijau tersebut ketika dibagikan ke masyarakat penerima paket konversi sudah ditentukan nama agen penjual gas dan nama serta alamat masyarakat penerima paket konversi.
"Namun sayangnya keberadaan kartu hijau itu hingga saat ini tidak digunakan dalam penjualan gas bersubsidi ke masyarakat. Entah apa sebabnya?" ungkap Sofayano.
(A057/A013)
Pewarta: Andilala
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013