Ini bukan hanya sekadar mencari makanan, hutan bakau juga berfungsi sebagai tempat untuk meresapi kisah-kisah dan pemikiran.

Jayapura (ANTARA) - Deru ombak Teluk Youtefa tengah jinak, mengiringi angin membisik di sela tengkuk telinga. Satu barung-barung (pondok) nampak temaram di Dermaga Desa Enggros, Jayapura. Di situ terlihat mama Papua memperbaiki kulit kayu tas noken yang sudah lapuk termakan usia.

Petronela Meraudje, mama Papua yang duduk di pinggiran barung-barung itu, sedang menunggu kapal, ingin menyeberang ke Pulau Enggros. Ia mau lihat warga merapikan bakau (mangrove), sebab mau ada acara.

Waktu menunjukkan pukul 19.07 WIT, kapal yang ia tunggu tiba. Namun, ia hanya meminta kapal tersebut bersandar dan menunggu dulu, sebab ia tak ingin segera beranjak dari dermaga, sebelum memastikan kondisi terakhir hutan mangrove.

Begitu cintanya mama Petronela terhadap mangrove, yang telah ia rawat lebih dari 12 tahun silam. Bukan tanpa alasan Petronela tiba-tiba merawat mangrove. Ia tinggal di pesisir pantai sejak lahir dan merasakan dampak dari berkurangnya mangrove bagi lingkungan tinggalnya.

Dulu saat banyak mangrove, kawasan pantai tampak luas, namun sekarang sudah terasa sempit. Jadi, Nela, demikian ia biasa disapa, harus mulai dari awal lagi, sebab agar bisa tumbuh besar, bakau butuh usia 50 tahun.

Buah dari dedikasinya, ia diganjar penghargaan Kalpataru bidang Pembinaan Lingkungan 2023 atas pengabdiannya menjaga lingkungan dengan merawat mangrove.

Ia mulai semua capaian itu dari tengah kawasan Teluk Youtefa, yakni sebuah kampung yang menyimpan harta berharga. Bukan harta berupa emas atau permata, melainkan hutan bakau yang disebut sebagai "ibu pemberi kehidupan", yang dalam bahasa lokal disebut, “Tonotwiyat”.

Desa Enggros, tempat di mana hutan bakau dianggap sebagai hutan perempuan yang penuh makna. Bagi masyarakat Enggros--mengikuti aturan adat setempat--hutan ini tabu bagi kaum pria, dan pelanggarnya dikenai sanksi adat yang berat.

Tradisi ini, mungkin tampak aneh bagi sebagian awam, namun tampaknya masih kuat dipegang oleh masyarakat Enggros hingga saat ini. Di dalam hutan bakau ini, para perempuan memiliki kebebasan untuk melakukan beragam aktivitas, mulai dari mencari hasil laut hingga berdiskusi dan berbagi cerita.

“Ini bukan hanya sekadar mencari makanan, hutan bakau juga berfungsi sebagai tempat untuk meresapi kisah-kisah dan pemikiran,” jelas Nela. Hal ini menjadi wadah bagi kaum hawa yang dalam adat setempat sering kali tidak memiliki hak suara, bahkan sebatas berteriak atau tertawa pun dibatasi. Ada 15 aturan adat yang mengikat perempuan di kampung ini, dan hal ini dilakukan untuk menjaga kehormatan perempuan.

Namun, seiring berjalannya waktu, hutan bakau yang dulu sangat luas dan lebat mulai terkikis. Diperparah oleh dampak pembangunan yang menepikan nilai fungsi hutan bakau. Fenomena ini yang mengundang keprihatinan Petronela Merauje hingga ia berpikir dan berbuat lalu dianugerahi Kalpataru.

Dorongan kuat untuk menyelamatkan "rumah" mereka muncul pada tahun 2010. Mama Nela bergabung dalam kegiatan penanaman mangrove yang diprakarsai oleh Forum Peduli Port Numbay Green (FPPNG) yang dipimpin oleh aktivis lingkungan Fredy Wanda.

Tidak hanya itu, Mama Nela juga aktif bersama Komunitas Rumah Bakau Jayapura di kawasan Teluk Youtefa, melakukan berbagai kegiatan secara swadaya untuk menjaga hutan bakau. Ia bahkan menginisiasi penyediaan ribuan bibit bakau dengan memanfaatkan botol plastik dan ember bekas.

Dibantu oleh sejumlah perempuan lain, Mama Nela berhasil mengumpulkan 6.000 bibit bakau yang seluruhnya ditanam di kawasan Teluk Youtefa.

Tahun berikutnya, bersama Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Mama Nela dan rekan-rekannya membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) Ibayauw, yang bertanggung jawab melakukan rehabilitasi hutan seluas 5 hektare di sekitar area hutan perempuan.

Mereka juga berupaya untuk menyiapkan puluhan ribu bibit lainnya guna mendukung kegiatan kelompok pemerhati lingkungan lainnya.

Dampak ekonomi

Tak hanya mengembalikan napas hijau, mangrove pun memiliki dampak lingkungan yang cukup besar kepada mama-mama Papua. Melalui Kelompok Tani Hutan (KTH) Ibayauw, Mama Nela mampu mengajak mama-mama lainnya beraktivitas ekonomi serta mampu memutar roda ekonomi lokal sebagai dampak dari melestarikan mangrove hingga menjaga lingkungannya.

Tugas kelompok ini adalah menanam dan menjaga lingkungan agar tetap bersih. Namun, Petronela melihat peluang lainnya. Batang dan akar mangrove mampu menjaring sampah yang terbawa arus teluk. Baginya, sampah adalah sebuah berkah yang menunggu untuk dimanfaatkan.

Petronela mulai mengumpulkan berbagai jenis sampah, termasuk plastik, botol plastik, kayu, dan kawat hingga sisa kabel yang tersangkut diantara pohon bakau. Dengan kreativitasnya, ia mengubah sampah-sampah tersebut menjadi berbagai jenis kerajinan tangan yang menarik. Dia menggabungkan sampah-sampah tersebut dengan cangkang kerang dan aksesoris khas Papua.

Sampah-sampah, seperti plastik bekas sendok makan bisa ia rangkai menjadi lampion, sementara sampah kerang bisa dijadikan boneka, vas bunga, dan berbagai kerajinan lain.

Petronela bertekad untuk memberdayakan ibu-ibu di lingkungan tersebut agar bisa menjadi lebih produktif dan tidak bergantung pada penghasilan suami mereka.

Sebagai ketua kelompok usaha, Petronela bertanggung jawab untuk mengoordinasikan kegiatan kelompok, memantau produksi, dan mencari mitra kerja dari luar untuk mendapatkan peralatan dan bahan kerajinan. Ibayauw dibentuk pada tahun 2019 dan saat ini memiliki 15 anggota. Kelompok ini juga mengajak perempuan pensiunan pegawai untuk bergabung.

Ibayauw telah berhasil memproduksi berbagai produk kerajinan tangan, termasuk topi, anting, kalung, gelang, gorden, jepit rambut, vas bunga, dan banyak lagi. Harga produk-produknya pun terjangkau, mulai dari Rp10.000 hingga Rp 300.000 untuk produk yang lebih besar.

Kegiatan dari Ibayauw telah mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk dinas sosial, BRI, dan pemerintah desa. “Bantuan kepada kami mulai beragam, termasuk dari perbankan yang memberikan kami modal mengembangkan usaha,” jelasnya.

Meskipun bantuan biasanya berupa peralatan dan bahan, bantuan dari bank pelat merah yang berupa uang tunai itu mampu digunakan sebagai modal kelompok usaha.

Produk Ibayauw telah melewati batas Papua, dengan permintaan produk datang dari berbagai daerah, termasuk Jawa. Petronela dan anggota kelompoknya membuktikan, mereka mampu menciptakan penghasilan yang berarti, mencapai Rp15 juta dampak dari adanya kelestarian mangrove. Petronela diberikan modal dari perbankan BUMN tersebut sebesar Rp25 juta saat pertama kali menerima bantuan. Kelompoknya juga dibina dalam melakukan pengolahan dana tersebut sehingga modal tidak terbuang habis.

Dari mengenal usaha, Petronela kemudian mulai mengembangkan turunan mangrove secara langsung. Selain menjadi benteng alami melawan erosi pantai dan kawasan perlindungan bagi berbagai jenis fauna laut, mangrove juga memiliki potensi besar sebagai sumber produk ekonomi yang beragam, mulai dari sirup hingga hand sanitizer.

Salah satu koki hutan Papua Charles Toto juga turut menjelaskan manfaat mangrove yang tengah dikembangkan Mama Nela menjadi sirup, es krim makanan, dan hand sanitzer.

Menurut Charles, beberapa spesies mangrove, seperti Rhizophora mangle atau Avicennia germinans, menghasilkan bunga yang manis dan bisa diolah menjadi sirup yang lezat.

Sirup mangrove telah menjadi produk unik di beberapa daerah pesisir. Rasanya yang khas memberikan peluang untuk industri makanan dan minuman yang inovatif, termasuk penggunaannya sebagai pemanis alami pada minuman dan makanan.

Bahkan, beberapa produsen es krim telah mulai menggunakan ekstrak mangrove dalam pembuatan es krim mereka. Ekstrak mangrove dapat memberikan rasa yang segar dan asam, membuat es krim menjadi produk yang lebih menarik dan eksotis. Selain itu, ekstrak mangrove juga mengandung senyawa antioksidan yang sehat. Mama Nela memiliki produknya di Desa Enggros.

Produk turunan mangrove sering kali mengandung bahan kimia yang keras dan dapat mengeringkan kulit. Di sinilah tempat ekstrak mangrove masuk. Ekstrak mangrove telah digunakan dalam pembuatan hand sanitizer alami yang tidak hanya efektif membunuh kuman, tetapi juga merawat kulit tangan. Hal ini menjadikan produk ini lebih ramah lingkungan dan sehat.

Untuk meluaskan pasar, Mama Nela kerap memasarkan produk-produk olahannya ketika ada acara adat, dengan harapan banyak masyarakat mulai mengenal manfaat mangrove secara langsung jika mereka tidak tinggal di pesisir pantai.

Ketekunan Petronela tidak hanya mampu menyelamatkan lingkungan. Lebih dari itu, melalui kelompok usahanya, ia mampu menggerakkan perekonomian desa.













Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023