Istanbul (ANTARA News) - Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan pada Jumat mengatakan pemerintahan berakar Islamis pimpinannya terbuka dengan "tuntutan demokrasi" sebagai balasan atas kritik Uni Eropa (UE) atas caranya mengendalikan pekan kekacauan di negaranya.

Erdogan menuduh adanya standar ganda dari para rekan-rekan internasional setelah Komisioner Perluasan UE Stefan Fule mendesak penyelidikan "segera dan transparan" terhadap kekerasan polisi kepada pengunjukrasa antipemerintah di Turki, sebuah negara yang telah lama mendambakan menjadi anggota UE.

"Demonstrasi damai merupakan cara terlegitimasi bagi kelompok-kelompok itu untuk mengekspresikan pandangan mereka," kata Fule dalam sebuah konferensi di Istanbul yang dihadiri Erdogan.

"Penggunaan kekerasan berlebihan oleh polisi kepada pengunjukrasa tidak memiliki tempat di dalam demokrasi," ujarnya menambahkan.

Dalam sebuah bantahan pedas nan tajam, sang PM agresif itu berkata: "Di negara Eropa manapun, kapanpun ada unjukrasa disertai kekerasan sebagai penolakan terhadap sebuah proyek penghancuran semacam ini, percayalah, reaksinya akan dipenuhi dengan sikap yang lebih kasar".

Permasalahan di Turki dimulai kala kepolisian menggunakan kekerasan terhadap sekelompok kecil pengunjukrasa yang meminta penyelamatan Taman Gezi di Istanbul, lantas menyebar dan membesar menjadi aksi-aksi demonstrasi anti-Erdogan beserta Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pimpinannya, yang dianggap mulai mengarah pada sikap otoriter.

Polisi menggunakan gas air mata dan menembakkan meriam air untuk membubarkan para pengunjukrasa, mencederai ribuan orang dan menewaskan tiga nyawa dalam kericuhan besar-besaran yang berubah menjadi tantangan terbesar setelah satu dekade Erdogan memegang kekuasaan.

Erdogan, yang telah menyebut para pengunjukrasa sebagai perusak dan ekstremis, pada Jumat mengatakan ia "antikekerasan", semari menambahkan dalam nada yang lebih terkesan bijak: "Saya membuka hati terhadap siapapun yang memiliki tuntutan demokratis".

Menentang seruan Erdogan untuk mengakhiri unjukrasa, massa berjumlah ribuan orang berunjukrasa secara damai di Lapangan Taksim Istanbul untuk malam kedelapan, berkumpul dalam sebuah kerumunan beratmosfer sebuah festival dengan iringan musim dari gendang dan alat tiup. Kerumunan besar juga turun ke jalanan di ibu kota Ankara, sejauh ini tidak ada laporan terjadi konfrontasi.

"Kami butuh demokrasi di Turki, itulah mengapa kami datang ke Lapangan Taksim," kata Burhan Ozdemirci (30) kepada AFP sembari menyeruput bir di tengah lapangan, pusat unjukrasa.

Taksim

Terlepas dari reaksi Erdogan atas keberlanjutan unjukrasa mereka, sebagian besar merasa aman berada di Taksim, yang terlihat tidak ada tanda kehadiran polisi semenjak ditarik dari lokasi tersebut pada Sabtu (1/6) pekan lalu.

"Taksim adalah istana kami," kata pelajar berusia 21 tahun, Eray Dilek, sembari menambahkan bahwa ia lebih khawatir terhadap keselamatan para pengunjukrasa yang berkumpul di kota-kota lain.

Guna mendorong profil mereka, para pendukung gerakan unjukrasa mengumpulkan hingga lebih dari 100 ribu dolar AS dalam sebuah penggalangan dana daring demi membayar biaya iklan satu halaman penuh di New York Times pada Jumat (7/6) untuk menjelaskan mengapa para pengunjukrasa sangat marah.

"Rakyat Turki telah bersuara: kami tidak mau ditekan," tulis iklan tersebut, sembari mengatakan bahwa selama 10 tahun masa kekuasaan Erdogan di Turki telah menggelincirkan hak-hak sipil serta kebebasan mereka, dengan banyaknya penangkapan terhadap sejumlah jurnalis, seniman dan pejabat terpilih.

Erdogan menyamakan masalah yang terjadi di Turki dengan gerakan "Occupy Wall Street" di Amerika Serikat pada 2011 dan menginpirasi sejumlah unjukrasa tiruan di beberapa kota di Eropa.

Akan tetapi Kedutaan Besar AS di Ankara pada Jumat (7/6) dalam akun twitter resmi mereka menuliskan: "Tidak ada warga AS yang meninggal akibat reaksi polisi dalam #OWS."

Reaksi yang lebih tenang dari Erdogan mempengaruhi perilaku para investor pada Jumat (7/6). Indeks utama di pasar saham Istanbul sebagian besar telah pulih dari keterpurukan di awal pekan yang ditutup dalam kenaikan sebesar 3,21 persen.

Analis memperingkatkan bahwa kericuhan itu dapat membuat membuat para pemodal asing lari ketakutan, padahal perkembangan perekonomian Turki dalam beberapa waktu terakhir sangat bergantung terhadap hal tersebut.

"Kami siap mati untukmu, Erdogan"

Perkumpulan dokter nasional setempat menyatakan sedikitnya 4.785 orang cedera dalam unjukrasa di seantero negeri itu, 48 di antaranya tergolong luka berat.

Kerusuhan telah menewaskan tiga orang --dua pengunjukrasa muda dan seorang petugas kepolisian, demikian menurut data petugas dan dokter.

Kritikus menuduh Erdogan berusaha memaksakan nilai-nilai Islam konservatif di Turki, sebuah negara mayoritas muslim yang kukuh menganut paham negara sekuler.

Pemimpin pemberontak Kurdi Abdullah Ocalan pada Jumat menyampaikan dukungannya kepada pada pengunjukrasa antipemerintah dari dalam penjara, meskipun saat ini ia terlibat dalam perundingan damai dengan pemerintah Turki.

Turki yang merupakan anggota NATO telah lama berharap dapat masuk ke dalam blok UE namun upayanya terus terganjal selama beberapa tahun terakhir, menyusul sikap diam atas rekam jejak hak asasi manusi (HAM) di negara tersebut menjadi penghalang utama.

Akan tetapi dalam sebuah langkah yang meyakinkan, Fule, pejabat utama UE terkait isu tersebut, mengatakan bloknya masih mempertimbangkan pengajuan keanggotaan Turki.

Meskipun gerakan perlawanan terhadap PM meningkat, Erdogan yang berusia 59 tahun berhasil memenangi tiga pemilihan umum beruntun dan meraup hampir 50 persen suara dalam perhelatan 2011, diperkirakan akibat pertumbuhan ekonomi yang menguat.

Para pendukung Erdogan beserta Partai AKP masih memilih diam di tengah memanasnya unjukrasa, namun mereka segera memperlihatkan sikap saat berbondong-bondong menuju bandar udara pada Jumat (8/6) guna menyambut kedatangan sang PM dari perjalanan luar negeri.

"Kami siap mati untukmu, Erdogan," seru mereka sembari mengibarkan bendera Turki berwarna merah dan putih sembari menebar ancaman kepada para pengunjukrasa prokebebasan dengan kata-kata: "Biarkan kami pergi dan menghancurkan mereka semua."

Setelah memuji para loyalis atas keteguhan sikap mereka, Erdogan menyuruh mereka untuk "pulang".
(G006)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013