Jakarta (ANTARA) - "Saya tidak mau seperti kakak saya yang meninggal karena kanker," kata Merry Handoko, wanita berusia 48 tahun yang pada tahun 2020 divonis secara medis memiliki kanker payudara stadium dua.

Ia mendapati dirinya mengidap kanker tepat setelah 5 tahun penyakit ganas serupa merenggut kehidupan kakak perempuannya.

Rasa takut, panik, dan sedih melanda ia dan keluarganya. Kecurigaan Merry terhadap kondisi tubuhnya tersebut diawali ketika ia rutin melakukan pengecekan terhadap bagian payudaranya setelah kakaknya meninggal.

Benar saja, di suatu hari dirinya mendapati adanya benjolan di bagian payudara, namun menurut kesaksiannya, ukuran dari benjolan tersebut masih kecil dan berpindah-pindah.

Dirinya langsung memberitahu kondisi tubuhnya kepada sang suami untuk mendapatkan respons.

Tanpa basa-basi, Suami Merry langsung membawanya untuk melakukan screening medis, hal ini bertujuan untuk mengetahui benjolan yang ada di payudaranya, termasuk tumor jinak atau kanker.

Ternyata setelah dilakukan screening, benjolan pada tubuh Merry merupakan kanker payudara yang sudah masuk pada tahap stadium dua.

Ia sempat menolak untuk melakukan pengobatan, karena Merry masih terbayang kondisi kakaknya yang sudah masuk fase stadium tiga saat melakukan terapi penyembuhan.

Namun dorongan dari pihak keluarga, dan keinginan untuk hidup, membuat dirinya bersedia untuk melakukan pengangkatan tumor ganas penyebab kanker payudara yang ada di tubuhnya tersebut.

Selain itu ia juga harus menjalani kemoterapi atau terapi radiasi untuk membersihkan sel kanker.

Setiap pagi selama 33 hari dirinya berangkat dari Cengkareng menuju Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Minggu guna menjalani pengobatan sinar radiasi untuk membersihkan sel-sel kanker ganas yang menggerogoti tubuhnya.

Luka bakar akibat paparan radiasi ia dapatkan selama pengobatan, namun rasa sakit tersebut seolah hilang ketika dirinya membayangkan senyuman manis dari kerabat dan keluarganya.

Untuk lebih semangat menjalani pengobatan, Merry juga bergabung dengan komunitas-komunitas penderita kanker.

Dari sanalah ia mendapatkan pembelajaran bagaimana mengelola stres, selalu bersabar, serta semangat untuk menjalani hidup.

Menurut Merry, pikiran jernih yang bebas dari segala persoalan membantunya untuk fokus menjalani pengobatan agar bisa sembuh.

Selain itu, melakukan hobi bersama dengan orang-orang dalam komunitas turut meningkatkan semangat hidup Merry.

Dulu ia berpikiran bahwa kanker merupakan momok dan sesuatu yang menakutkan, namun kini dirinya menganggap kanker yang menggerogoti tubuhnya merupakan 'sahabat' yang tidak perlu ditakuti.

Meski harus terus meminum obat selama 5 tahun, kini status Merry yang awalnya penderita kanker berubah menjadi penyintas (survivor) penyakit ganas tersebut.

Dirinya berpesan pada masyarakat agar tak takut memeriksakan diri secara mandiri, dan apabila merasa ada sesuatu keanehan pada tubuh. Pemeriksaan medis harus dilakukan supaya bisa segera mendapatkan penanganan.


Deteksi SADARI

PerikSA payuDAra sendiRI (SADARI) merupakan slogan yang digaungkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Yayasan Kanker Indonesia (YKI).

Slogan tersebut bertujuan untuk mengampanyekan deteksi dini secara mandiri kemungkinan adanya penyakit kanker payudara pada tubuh seseorang.

Yayasan Kanker Indonesia (YKI) menyatakan semakin dini kanker terdeteksi, maka harapan hidup pengidap tersebut semakin besar.

Data YKI, 70 persen pasien kanker, baru memulai pengobatan pada fase lanjut (stadium tiga) atau fase akhir (stadium empat).

Hal tersebut menjadi penyebab tingginya angka kematian akibat kanker payudara di Indonesia.

Merujuk data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2020, pengidap kanker payudara di Indonesia, yakni sebanyak 65.858 kasus, dan lebih dari 22.000 orang kehilangan nyawanya akibat tumor ganas yang ada pada bagian payudara tersebut.

Angka harapan hidup para penderita kanker menggunakan skema per 5 tahun (5 years survival rate). Mekanisme ini akan memonitor perkembangan kesehatan penderita selama 5 tahun sekali.

Pada stadium awal angka harapan hidup penderita sangat tinggi, yakni menyentuh angka 95 persen, lalu akan menurun menjadi 80 persen pada fase stadium dua, menjadi 70 persen, serta akan merosot secara drastis menjadi 15 persen pada stadium empat.

Oleh karena itu, dengan melakukan SADARI selama dua minggu sekali akan meminimalisasi potensi keterlambatan penanganan ketika terserang penyakit kanker payudara.

Kanker atau tumor ganas pada payudara itu memerlukan waktu 5-15 tahun untuk menjadi benjolan. Makannya kita ingatkan masyarakat bahwa kita bisa menemukan tumor di tubuh kita sedini mungkin, dengan pemeriksaan SADARI.

Kanker payudara tak hanya menyerang pada wanita, namun juga bisa menyerang pada pria, dan biasanya kanker payudara di pria lebih ganas dan berbahaya, namun kasus ini jarang terjadi.

Sehingga pendeteksian dini adanya potensi kanker payudara menjadi penting bagi seluruh kalangan masyarakat.

Selain itu, Kemenkes juga menyiapkan empat strategi guna menanggulangi penyakit kanker.

Keempat pilar tersebut adalah promosi kesehatan, perlindungan khusus, deteksi dini, dan penanganan kasus.

Masyarakat bisa melakukan pengecekan medis di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) apabila muncul tanda-tanda kanker payudara.

Diharapkan melalui SADARI dan pengecekan medis, angka kematian akibat kanker payudara bisa diminimalkan. Kata bijak bahwa "lebih baik mendeteksi dari dapada menangani" menjadi pilihan terbaik yang harus dijalani oleh masyarakat, sehingga terhindar dari dampak fatal dari penyakit tersebut. Pemerintah telah hadir lewat program SADARI dan masyarakat harus berpartisipasi untuk peduli pada kesehatan diri.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023